Masalah perkotaan pada saat ini telah
menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa
pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Dalam
tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka
hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya,
ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan
terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh
jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda
dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya
penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota
sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan
menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas
jalan tertentu.
Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang
terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan
ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas udara. Kualitas
udara di perkotaan sangat dipengaruhi oleh emisi gas pencemar yang dihasilkan
oleh kendaraan bermotor. Tingkat pencemaran udara memiliki relasi positif
dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di kawasan perkotaan. Besarnya
peranan dan kontribusi kendaraan bermotor dalam pencemaran udara di kawasan
perkotaan, menjadikan upaya pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai syarat
utama dalam perencanaan dan penataan ruang. Penyediaan RTH merupakan salah satu
unsur dalam penanganan pencemaran oleh kendaraan bermotor yang implementatif. Pentingnya
pengadaan RTH di kawasan perkotaan menyebabkan Pemerintah melalui Undang-Undang
No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mewajibkan untuk menyediakan RTH
sebesar 30% dari luas area.
RUANG TERBUKA HIJAU (Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No
05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan)
Istilah dan Definisi Terkait RTH
·
Elemen lansekap, adalah segala
sesuatu yang berwujud benda, suara, warna dan suasana yang merupakan pembentuk
lansekap, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Elemen lansekap
yang berupa benda terdiri dari dua unsur yaitu benda hidup dan benda mati;
sedangkan yang dimaksud dengan benda hidup ialah tanaman, dan yang dimaksud
dengan benda mati adalah tanah, pasir, batu, dan elemen-elemen lainnya yang
berbentuk padat maupun cair.
·
Garis sempadan, adalah garis batas
luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak
tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi
saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta
api, jaringan tenaga listrik, pipa gas.
·
Hutan kota,
adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat
di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat yang berwenang.
·
Jalur hijau, adalah jalur penempatan
tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan
(RUMIJA) maupun di dalam ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur
hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya
berwarna hijau.
·
Kawasan, adalah kesatuan geografis
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta
mempunyai fungsi utama tertentu.
·
Kawasan perkotaan, adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
·
Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
·
Koefisien Daerah Hijau (KDH), adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah
perpetakan/daerah perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan.
·
Lansekap jalan, adalah wajah dari
karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik yang
terbentuk dari elemen lansekap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang
mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lansekap
buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lansekap jalan ini
mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik
jalan dan diperuntukkan terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan
untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman dan memenuhi fungsi
keamanan.
·
Penutup tanah, adalah semua jenis
tumbuhan yang difungsikan sebagai penutup tanah.
·
Perdu, adalah tumbuhan berkayu
dengan percabangan mulai dari pangkal batang dan memiliki lebih dari satu
batang utama.
·
Pohon, adalah semua tumbuhan
berbatang pokok tunggal berkayu keras.
·
Pohon kecil, adalah pohon yang
memiliki ketinggian sampai dengan 7 meter.
·
Pohon sedang, adalah pohon yang
memiliki ketinggian dewasa 7-12 meter.
·
Pohon besar, adalah pohon yang
memiliki ketinggian dewasa lebih dari 12 meter.
·
Ruang terbuka, adalah ruang-ruang
dalam kota
atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk
area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang
pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau
dan ruang terbuka non hijau.
·
Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah
area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam.
·
Ruang terbuka non hijau, adalah
ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH,
berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.
·
Ruang terbuka hijau privat, adalah
RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk
kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
·
Ruang terbuka hijau publik, adalah
RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
·
Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH
yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan
atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling
mengganggu.
·
Semak, adalah tumbuhan berbatang
hijau serta tidak berkayu disebut sebagai herbaseus.
·
Tajuk, adalah
bentuk alami dari struktur percabangan dan diameter tajuk.
·
Taman kota,
adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan
rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota.
·
Taman
lingkungan, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai
sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat lingkungan.
·
Tanaman penutup
tanah, adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah yang bersifat selain
mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah yang kekurangan unsur hara. Biasanya
merupakan tanaman antara bagi tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman
yang tetap (permanen).
·
Tanggul, adalah
bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu
untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai.
·
Vegetasi/tumbuhan,
adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal dari kawasan
itu atau didatangkan dari luar, meliputi pohon, perdu, semak, dan rumput.
·
Wilayah, adalah
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan kondisi geografis.
Fungsi RTH
RTH memiliki fungsi sebagai berikut:
·
Fungsi utama
(intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
¯
memberi jaminan pengadaan RTH
menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);
¯
pengatur iklim mikro agar sistem
sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;
¯
sebagai peneduh;
¯
produsen oksigen;
¯
penyerap air hujan;
¯
penyedia habitat satwa;
¯
penyerap polutan media udara, air
dan tanah, serta;
¯
penahan angin.
·
Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
¯
Fungsi sosial dan budaya:
-
menggambarkan ekspresi budaya lokal;
- merupakan media komunikasi warga kota;
- tempat rekreasi;
- wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan
dalam mempelajari alam.
¯
Fungsi ekonomi:
- sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga,
buah, daun, sayur mayur;
- bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan,
kehutanan dan lainlain.
¯
Fungsi estetika:
-
meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota
baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro:
lansekap kota
secara keseluruhan;
- menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
- pembentuk faktor keindahan arsitektural;
- menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area
terbangun dan tidakterbangun.
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat
fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan
keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan
konservasi hayati.
Jenis-Jenis RTH
·
Secara fisik RTH dapat dibedakan
menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan
taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,
lapangan olah raga, dan kebun bunga.
·
Dari segi
fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi.
¯
Secara ekologis
RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi
udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang
berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman
botani, sempadan sungai dll.
¯
Secara
sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi
sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH
yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga,
kebun raya, TPU dsb.
¯
Secara
arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di
jalan-jalan kota.
¯
Sementara itu
RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti
pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban
agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat
mendatangkan wisatawan.
·
Sementara itu
secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis
dan konfigurasi planologis.
¯
RTH dengan
konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan
lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb.
¯
Sedangkan RTH
dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti
pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH
kota maupun taman-taman regional/ nasional.
·
Dari segi
kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang dimiliki oleh umum dan terbuka
bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang
berada pada lahan-lahan pribadi.
Penyediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pada Kawasan Perkotaan (Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang)
a.
Penyediaan RTH Berdasarkan Luas
Wilayah
Penyediaan
RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:
·
ruang terbuka hijau di perkotaan
terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;
·
proporsi RTH pada wilayah perkotaan
adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan
10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;
·
apabila luas RTH baik publik maupun
privat di kota
yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau
perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan
keberadaannya.
Proporsi
30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
Target
luas sebesar 30% dari luas wilayah kota
dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara
tipikal.
b.
Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah
Penduduk
Untuk
menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai
peraturan yang berlaku.
Tabel
Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
No.
|
Unit Lingkungan
|
Tipe RTH
|
Luas Minimal/ Unit (m)
|
luas minimal/
kapita(m)
|
Lokasi
|
1
|
250 jiwa
|
Taman RT
|
250
|
1,0
|
ditengah Lingkungan RT
|
2
|
2500 jiwa
|
Taman RW
|
1250
|
0,5
|
dipusat kegiatan RW
|
3
|
30.000 jiwa
|
Taman Kelurahan
|
9000
|
0,3
|
dikelompokkan dengan
sekolah/pusat kelurahan
|
4
|
120.000 jiwa
|
Taman Kecamatan
|
24000
|
0,2
|
dikelompokkan
dengan sekolah/pusat kecamatan
|
Pemakaman
|
disesuaikan
|
1,2
|
tersebar
|
||
5
|
480.000 jiwa
|
taman kota
|
144000
|
0,3
|
dipusat wilayah/kota
|
hutan kota
|
disesuaikan
|
4,0
|
didalam/kawasan
pinggiran
|
||
untuk fungsi-fungsi
tertentu
|
disesuaikan
|
12,5
|
disesuaikan dengan
kebutuhan
|
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan
c. Penyediaan
RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi
RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan
prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan
kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak
teganggu.
RTH
kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH
sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata
air.
PENCEMARAN UDARA
Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun
dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara
telah mengalami perubahan. Udara yang dulunya segar, kini kering dan kotor.
Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan pencemaran udara, yaitu
masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) ke dalam
udara.
Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai hadirnya
substansi di udara dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan gangguan pada
manusia, hewan, tanaman maupun material. Substansi ini bisa berupa gas, cair
maupun partikel padat. Ada lima jenis polutan di udara, yaitu partikulat dengan
diameter kurang dari 10 µm (PM10), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), karbon monoksida (CO) dan timbal (Cooper,1994). Adanya gas-gas tersebut dan partikulat-partikulat dengan
konsentrasi melewati ambang batas, maka udara di daerah tersebut dinyatakan
sudah tercemar. Dengan menggunakan parameter konsentrasi zat pencemar dan waktu
lamanya kontak antara bahan pencemar atau polutan dengan lingkungan (udara),
WHO menetapkan empat tingkatan pencemaran sebagai berikut:
·
Pencemaran tingkat pertama; yaitu pencemaran yang tidak
menimbulkan kerugian bagi manusia.
·
Pencemaran tingkat kedua; yaitu pencemaran yang mulai
menimbulkan kerugian bagi manusia seperti terjadinya iritasi pada indra kita.
·
Pencemaran tingkat ketiga; yaitu pencemaran yang sudah dapat
bereaksi pada faal tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit yang kronis.
·
Pencemaran tingkat keempat; yaitu pencemaran yang telah
menimbulkan sakit akut dan kematian bagi manusia maupun hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
SEKTOR TRANSPORTASI PERKOTAAN
Transportasi
dan Pencemaran Udara
Dari berbagai sektor
yang potensial dalam mencemari udara, pada umumnya sektor transportasi memegang
peran yang sangat besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Di kota-kota besar,
kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai
60-70%. Sedangkan kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya
berkisar 10-15%, sisanya berasal dari sumber pembakaran lain, misalnya dari
rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain.
Kendaraan bermotor
yang menjadi alat transportasi, dalam konteks pencemaran udara dikelompokkan
sebagai sumber yang bergerak. Dengan karakteristik yang demikian, penyebaran
pencemar yang diemisikan dari sumber-sumber kendaraan bermotor ini akan
mempunyai suatu pola penyebaran spasial yang meluas. Faktor perencanaan sistem
transportasi akan sangat mempengaruhi penyebaran pencemaran yang diemisikan,
mengikuti jalur-jalur transportasi yang direncanakan.
Faktor penting yang
menyebabkan dominannya pengaruh sektor transportasi terhadap pencemaran udara
perkotaan di Indonesia antara lain:
1.
Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial)
2.
Tidak seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah
kendaraan yang ada
3.
Pola lalu lintas perkotaan yang berorientasi memusat,
akibat terpusatnya kegiatan-kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota
4.
Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan
kota yang ada, misalnya daerah pemukiman
penduduk yang semakin menjauhi pusat kota
5.
Kesamaan
waktu aliran lalu lintas
6.
Jenis, umur dan karakteristik kendaraan bermotor
7.
Faktor
perawatan kendaraan
8.
Jenis
bahan bakar yang digunakan
9.
Jenis
permukaan jalan
10.
Siklus dan pola mengenudi (driving pattern)
Di samping
faktor-faktor yang menentukan intensitas emisi pencemar sumber tersebut, faktor
penting lainnya adalah faktor potensi dispersi atmosfer daerah perkotaan, yang
akan sangat tergantung kepada kondisi dan perilaku meteorologi.
Dampak
Lingkungan Sistem Transportasi
Sektor transportasi
mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi. Seperti diketahui
penggunaan energi inilah yang terutama menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Hampir
semua produk energi konvensional dan rancangan motor bakar yang digunakan dalam
sektor transportasi masih menyebabkan dikeluarkannya emisi pencemar ke udara. Penggunaan
BBM (Bahan Bakar Minyak) bensin dalam motor bakar akan mengeluarkan beberapa
komponen yang menyebabkan udara tercemar antara lain :
·
Karbon
Dioksida (CO2)
Karbon dioksida berasal dari pembakaran
sempurna hidrokarbon di dalamnya termasuk minyak bumi dan gas alam. Sebagai
contoh pembakaran oktana yang merupakan salah satu komponen bensin dengan
reaksi sebagai berikut:
2
C8H18 (l) + 25 O2 (g) -> 16 CO2 (g) + 18 H2O
(g)
Sebenarnya
gas karbon dioksida tidak berbahaya bagi manusia. Namun, kenaikan kadar CO2 di
udara telah mengakibatkan peningkatan suhu di permukaan bumi. Fenomena inilah
yang disebut efek rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca adalah suatu
peristiwa di alam dimana sinar matahari dapat menembus atap kaca, tetapi sinar
infra merah yang dipantulkan tidak bisa menembusnya. Sinar matahari yang tidak
bisa keluar itu tetap terperangkap di dalam rumah kaca dan mengakibatkan suhu
di dalam rumah kaca meningkat. Seperti itu pula karbon dioksida di udaraa, ia
dapat dilewati sinar ultraungu dan sinar tampak, tetapi menahan sinar
inframerah yang dipantulkan dari bumi. Akibatnya suhu dipermukaan bumi naik
jika kadar CO2 di udara naik. Kenaikan suhu global dapat mencairkan sungkup es
di kutub. Akibat selanjutnya adalah kenaikan permukaan laut sehingga dapat
membanjiri kota-kota pantai di seluruh dunia.
·
Karbon
Monoksida (CO)
Gas karbon
monoksida berasal dari pembakaran tak sempurna bahan bakar dalam kendaraan
bermotor. Gas buang hasil pembakaran bensin dari kendaraan bermotor mengandung
10.000 sampai 40.000 ppm CO. Gas ini tidak berwarna dan tidak berbau, oleh
karena itu, kehadirannya tidak segera diketahui. Gas itu bersifat racun, dapat
menimbulkan rasa sakit pada mata, saluran pernafasan, dan paru-paru. Bila masuk
ke dalam darah melalui pernafasan, CO bereaksi dengan hemoglobin dalam darah
membentuk COHb (karboksihemoglobin) dengan reaksi sebagai berikut:
CO + Hb -> COHb
CO + Hb -> COHb
Seperti kita
ketahui, hemoglobin ini seharusnya bereaksi dengan oksigen menjadi O2Hb
(oksihemoglobin) dan membawa oksigen yang diperlukan ke sel-sel jaringan tubuh
dengan reaksi sebagai berikut :
O2
+ Hb -> O2Hb.
Ikatan CO
dengan Hb lebih kuat dibanding O2 dengan Hb sehingga menghalangi fungsi vital
Hb untuk membawa oksigen bagi tubuh, yang berakibat tubuh kekurangan oksigen
sehingga menimbulkan rasa sakit kepala dan gangguan pernafasan bahkan kematian.
·
Oksida
Belerang (SO2 dan SO3)
Senyawa-senyawa belerang yang bertindak
sebagai zat pencemar yang berbahaya adalah gas-gas SO2 dan SO3. Gas SO2 di
atmosfer sebagian besar berasal dari hasil pembakaran minyak bumi dan batubara
yang mengandung belerang, di samping ada juga yang berasal dari hasil oksidasi
bijih-bijih sulfida di industri.
Udara yang mengadung SO2 dalam kadar
cukup tinggi dapat menyebabkan radang paru-paru dan tenggorokan pada manusia
serta khlorosis (kepucatan) pada daun-daun. Oksidasi SO2 akan menyebabkan
terbentuknya SO3. SO3 bila bereaksi dengan uap air akan menyebabkan hujan asam
(acid rain). pH air hujan yang mengandung oksida belerang akan turun menjadi 3
– 4. Akibatnya timbul korosi logam-logam, kerusakan bangunan yang terbuat dari
batu pualam dan memudarnya cat-cat pada lukisan. SO2 apabila terisap oleh
pernafasan, akan bereaksi dengan air dalam saluran pernafasan dan membentuk
asam sulfit yang akan merusak jaringan dan menimbulkan rasa sakit. Apabila SO3
yang terisap, maka yang terbentuk adalah asam sulfat, dan asam ini lebih
berbahaya.
·
Oksida Nitrogen (NO dan NO2)
Dalam
beberapa dasawarsa terakhir, jumlah kendaraan bermotor yang meningkat telah
menimbulkan sejenis pencemaran udara yang tidak pernah dialami oleh peradaban
sebelumnya. Pencemaran ini ditimbulkan oleh oksida nitrogen. Sumber utama
oksida nitrogen adalah pembakaran bahan bakar dalam industri dan kendaraan
bermotor. Nitrogen dan oksigen tidak bereaksi pada suhu rendah, tetapi pada
suhu tinggi, kedua gas itu dimungkinkan bereaksi sebagai berikut:
N2
(g) + O2 (g) -> 2 NO (g)
Sekitar
10% dari gas NO yang dihasilkan, teroksidasi lebih lanjut membentuk NO2. Campuran
NO dan NO2 sebagai pencemar udara biasa ditandai dengan lambang NOx. NOx
di udara tidak beracun secara langsung pada manusia, tetapi NOx ini bereaksi
dengan bahan-bahan pencemar lain dan menimbulkan fenomena asbut (asap-kabut)
atau smog dalam bahasa Inggris. Asbut ini mengakibatkan mata perih, nafas sesak
dan tanaman layu.
Asbut
adalah campuran rumit yang terdiri dari berbagai gas dan partikel-partikel zat
cair dan zat padat. Asbut dihasilkan dari serentetan reaksi fotokimia (yaitu
reaksi kimia di bawah pengaruh energi sinar matahari).
NO2
(g) + sinar matahari -> NO (g) dan O (g).
Motor bakar,
juga menghasilkan hidrokarbon yang tidak terbakar akibat reaksi pembakaran di
dalam motor kurang sempurna. Hidrokarbon ini dapat bereaksi dengan atom oksigen
yang dihasilkan dari dekomposisi fotokimia NO2. Reaksi ini menghasilkan radikal
hidrokarbon bebas yang sangat reaktif. Radikal ini bereaksi dengan NO dan
menghasilkan NO2 lagi, dan serentetan reaksi berulang lagi dan menghasilkan
ozon. Radikal bebas itu juga bereaksi dengan O2 dan N2 dan menghasilkan senyawa
yang disebut peroksiasilnitrat (PAN). PAN juga memberi efek asbut dan
menimbulkan rasa perih di mata.
·
Pencemar
Butiran
Di antara pencemar butiran, yang paling
mencolok adalah asap dan butir-butir karbon sisa pembakaran. Bahan
pencemar itu dapat berasal dari pembangkit listrik, industri dan kendaraan
bermotor. Pencemar butiran dapat mengganggu pernafasan, daya pandang dan
mempengaruhi cuaca.
·
Pencemaran
Timbal di udara
Timbal (Pb)
merupakan pencemar udara yang berasal dari gas buangan kendaraan bermotor. Untuk
menghasilkan pembakaran yang baik dan meningkatkan efisiensi motor bakar,
bensin diberi zat tambahan, yaitu Pb(C2H5)4 atau tetra etil timbal (TEL). Setelah
mengalami pembakaran di dalam motor, timbal dilepas ke udara dalam bentuk
oksida timbal. Timbal merupakan racun keras yang bila menumpuk di dalam tubuh
akan menimbulkan kerusakan permanen pada otak, darah dan organ tubuh lainnya.
METODOLOGI
PENELITIAN
Mengingat besarnya volume kendaraan
bermotor di Kota Semarang maka perlu dilakukan studi kebutuhan RTH untuk
menurunkan tingkat pencemaran udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Melalui
studi ini akan dikaji apakah penetapan luas RTH sebesar 30% dari luas area
mampu memecahkan masalah pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor di
Kota Semarang. Studi ini juga akan meninjau faktor apa yang menjadi penentu
kualitas udara di Kota Semarang; presentase luasan RTH, guna lahan atau
skenario pengembangan jaringan jalan.
Dalam studi ini, jenis pencemar yang
akan dianalisis adalah pencemar udara yang diemisikan oleh kendaraan bermotor
yang menentukan nilai ISPU, yaitu karbonmonoksida (CO), sulfur dioksida (SO2),
partikulat (PM10) dan nitrogen dioksida (NOx).
Presentase luasan RTH terhadap luas
area, periode analisis dan skenario pengembangan jaringan jalan merupakan tiga
variabel yang akan mempengaruhi hasil analisis.
Analisis dilakukan secara spasial
melalui lima tahapan sebagai berikut:
·
Pertama adalah
melakukan proyeksi jumlah sumber emisi dari masing-masing jenis kendaraan
berdasarkan data mengenai pola bangkitan dan tarikan perjalanan di Kota Semarang.
·
Kedua adalah
menghitung beban emisi dengan metode bottom-up yang diikuti dengan perhitungan
konsentrasi zat pencemar di atmosfer.
·
Tahap ketiga
melakukan analisis kualitas udara berdasarkan nilai Indeks Standar Pencemaran
Udara (ISPU) yang dihasilkan dari konversi konsentrasi zat pencemar menjadi
nilai nyata ISPU.
·
Tahap keempat
adalah menghitung kebutuhan luas RTH untuk menyerap gas pencemar di udara
hingga dicapai standar kualitas udara sehat.
·
Tahap terakhir
mencoba mengkaji faktor yang paling menentukan kualitas udara di Kota Semarang
dengan menghitung frekuensi terjadinya perbaikan nilai ISPU pada setiap variasi
penerapan luasan RTH atau penerapan skenario pengembangan jaringan jalan. Tahap
ini juga meliputi analisis keterkaitan guna lahan dengan kualitas udara yang
dilakukan dengan metode tumpang susun peta guna lahan dengan peta sebaran nilai
ISPU.
PENANGGULANGAN PENCEMARAN UDARA AKIBAT SISTEM
TRANSPORTASI
Pengendalian pencemaran akibat kendaraan bermotor akan mencakup upaya-upaya
pengendalian baik langsung maupun tak langsung, yang dapat menurunkan tingkat
emisi dari kendaraan bermotor secara efektif.
Solusi untuk mengatasi polusi udara kota terutama ditujukan pada pembenahan
sektor transportasi, tanpa mengabaikan sektor-sektor lain. Hal ini kita perlu
belajar dari kota-kota besar lain di dunia, yang telah berhasil menurunkan
polusi udara kota dan angka kesakitan serta kematian yang diakibatkan
karenanya, seperti :
·
Pemeriksaan dan Pemeliharaan. Program
pemeriksaan dan pemeliharaan kendaraan yang dilaksanakan secara keras untuk
memastikan kepatuhan masyarakat merupakan suatu pelengkap yang penting dalam
penetapan standar emisi. Pengotak-atikan dan pemeliharaan yang buruk dapat
dengan cepat membuat pengendalian emisi menjadi tidak efektif. Usia juga
cenderung menurunkan kinerja perangkat polusi. Karena itu program untuk
menghapus kendaraan tua dari jalan dengan menawarkan suatu imbalan mungkin
dapat sangat mengurangi emisi kendaraan. Satu yang paling sederhana dalam hal
ini lakukan servis berkala pada kendaraan dan minta lah kepada teknisi bengkel
untuk mengstandarkan emisi buangan kendaraan.
·
Larangan Masuk. Pada tahun 1977 Buenos Aires melarang
kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi
sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus dan taksi diperbolehkan hanya pada
beberapa jalan tertentu. Larangan ini mengatasi kepadatan lalu lintas dan
pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota
Buenos Aires setiap hari kerja. Kita sendiri telah melakukan untuk beberapa
jalan melalui Kawasan 3in1.
·
Larangan Parkir. Larangan parkir
membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah, tapi tidak
berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang boleh lewat. Salah satu cara untuk
mengatasi masalah yang diakibatkan oleh berlimpahnya kendaraan adalah sama
sekali melarang semua kendaraan memasuki pusat-pusat kota . “Zona bebas mobil”,
sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata,
dan meningkatkan kualitas kehidupan, akhir-akhir ini semakin populer di Eropa. Pengalaman
yang terjadi di AS lebih terbatas; zona pembatasan mobil biasanya hanya berlaku
pada daerah pariwisata atau pertokoan kecil, dan hanya berdampak kecil pada
pola transportasi kota secara keseluruhan.
·
“Sel” Lalu Lintas. Gothenburg,
Swedia, membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk “pastel” sebagai
suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan menggalakkan transportasi
umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal, sepeda dan moped dapat melintas
dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak dapat. Berkurangnya kepadatan di
pusat kota Gothenburg telah menimbulkan layanan transit yang lebih baik dan
tingkat kecelakaan yang lebih rendah. Pendekatan yang disebut “sel lalu
lintas” ini, yang berasal dari Bremen, Jerman, juga digunakan di Groningen,
Belanda, dan Besancon, Prancis.
·
Hari Tanpa Mengemudi. Pada akhir 1991,
Roma, Milano, Napoli, Turino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan
“perang” terhadap pencemaran dengan cara membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam
peraturan ini, mobil berplat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari,
sedang mobil berplat nomor genap dilarang berjalan hari berikutnya. Banyak
pengemudi yang merasa jengkel dengan adanya kekangan dan larangan atas hak
mereka untuk mengemudi, lalu mengabaikan aturan genap-ganjil ini. Dalam satu
hari saja di bulan Desember, para polisi lalu lintas mencatat 12. 983
pelanggaran, menilang para pelanggar aturan yang mengemudi di hari yang salah,
atau yang mengubah plat nomor kendaraan mereka. Namun demikian, dengan
penggalakan peraturan secara keras, menteri lingkungan hidup Italia yakin
larangan mengemudi berseling hari itu dapat mengurangi polusi sebesar 20 sampai
30 persen.
·
Bersepeda. Sebagai bentuk transportasi yang
paling lazim di dunia, bersepeda kini mulai “naik daun”, sejalan dengan usaha
pemerintah beberapa negara untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus.
Jumlah sepeda di planet ini lebih dari 800 juta, hampir dua kali jumlah
kendaraan umum, tetapi untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda,
negara-negara seperti Belanda, Denmark, Belgia, dan Jerman mengembangkan
jaringan jalan untuk sepeda, masing-masing dengan hak guna jalan yang terpisah
dari jalan mobil. Tempat parkir yang terpisah, persewaan sepeda dengan uang
jaminan yang akan dikembalikan, bahkan garasi khusus sepeda, semuanya
diusahakan untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu
mempunyai dampak amat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka
miliki untuk sarana transportasi. Misalnya, kegiatan bersepeda di Erlangen ,
Jerman, meningkat dua kali lipat setelah jalan sepeda sepanjang 160 km selesai
dibangun. Banyak kota di Cina memiliki jalan sepeda selebar lima atau enam
jalur. Sesungguhnyalah, sepeda amat penting di Cina, dan pemantauan lalu lintas
di kota Tianjin telah mendata lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu
persimpangan jalan dalam waktu satu jam.
·
Jam Kerja Lentur. Selama Olimpiade
Musim Panas tahun 1984, Los Angeles menggilir jam kerja, dan dengan demikian
menurunkan pencemaran udara ke titik terendah selama beberapa waktu terakhir
ini. Sekarang banyak kota mencari jalan untuk menghambat pencemaran udara
dengan cara memulai jam kerja atau sekolah satu atau dua jam lebih awal, atau
dengan mengakhirinya lebih awal, dan dengan demikian mengurangi kepadatan lalu
lintas. Kota-kota lain mengusulkan empat hari kerja seminggu sebagai cara lain
mengurangi kemacetan lalu lintas. Misalnya di kantor PU Los Angeles para
karyawan bekerja 10 jam sehari dari Senin sampai Kamis. Pada hari Jumat seluruh
gedung ditutup, dan hal ini tidak saja mengurangi asap kabut dan kemacetan,
tapi juga menghemat biaya operasi 1,7 juta dollar AS setahun.
·
Kerja Jarak Jauh (Telecommuting). Suatu
strategi lain, yaitu cara “kerja jarak jauh”, atau mengizinkan karyawan bekerja
di rumah dengan menggunakan telepon dan komputer, akan mengurangi biaya
tambahan kantor dan sekaligus menghemat waktu dan uang para karyawan. Para
pegawai di Los Angeles berharap akan mengurangi 3 juta perjalanan ke tempat
kerja dengan adanya program kerja di rumah dan kerja jarak jauh. Pusat
Penelitian Masa Depan meramalkan bahwa lima juta orang Amerika memiliki
pekerjaan yang berhubungan dengan komputer dan dapat dikerjakan di rumah
menjelang tahun 1993. Dan dari suatu studi yang dilakukan oleh Asosiasi
Pemerintahan California Selatan ditemukan bahwa jika satu dari delapan karyawan
memilih untuk bekerja di rumah, atau di stasiun kerja “satelit” yang dihubungkan
secara elektronis dengan kantor pusat, maka kemacetan lalu lintas di
jalan-jalan raya daerah tersebut dapat dikurangi hampir sepertiganya.
·
Teknologi Baru. Sejumlah teknologi
yang lebih baru menjanjikan pengurangan emisi cukup besar bila dibandingkan
dengan sistem-sistem yang ada saat ini. Dengan beroperasi menggunakan zat
hidrogen, beberapa temuan mutakhir ini bahkan dapat mencapai tingkat emisi nol,
atau sangat mendekati nol, sampai selisihnya tak dapat diukur dengan piranti
yang ada sekarang.
Bahkan bila
dioperasikan dengan bahan bakar fosilpun, seperti gas alam, temuan-temuan itu
masih mampu mencapai tingkat emisi nol untuk polutan-polutan tertentu, dan
mendekati nol untuk beberapa jenis polutan lain.
Selain hal-hal
diatas, berikut ini hal-hal sederhana yang dapat kita lakukan dalam upaya
mengurangi beban polusi yang ada terkait “manajemen transportasi perkotaan”,
baik yang kaitannya dengan manajemen transportasi public maupun manajemen
kendaraan bermotor pribadi, diantaranya :
·
Pemberian izin bagi angkutan umum kecil hendaknya lebih
dibatasi, sementara kendaraan angkutan massal, seperti bus dan kereta api,
diperbanyak.
·
Pembatasan usia kendaraan, terutama bagi angkutan umum,
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu solusi. Sebab, semakin tua kendaraan,
terutama yang kurang terawat, semakin besar potensi untuk memberi kontribusi
polutan udara.
·
Menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan misalnya:
biodiesel, BBG, bioetanol.
·
Pemerintah perlu menyediakan sarana transportasi massal
yang nyaman agar masyarakat dapat menggunakannya, serta mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi di jalan, khususnya pada saat jam sibuk
·
Potensi terbesar polusi oleh kendaraan bermotor adalah
kemacetan lalu lintas dan tanjakan. Karena itu, pengaturan lalu lintas,
rambu-rambu, dan tindakan tegas terhadap pelanggaran berkendaraan dapat
membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan mengurangi polusi udara.
·
Pemberian penghambat laju kendaraan di permukiman atau
gang-gang yang sering diistilahkan dengan "polisi tidur" justru
merupakan biang polusi. Kendaraan
bermotor akan memperlambat laju.
·
Uji
emisi harus dilakukan secara berkala pada kendaraan umum maupun pribadi
meskipun secara uji petik (spot check).
Perlu dipikirkan dan dipertimbangkan adanya kewenangan tambahan bagi polisi
lalu lintas untuk melakukan uji emisi di samping memeriksa surat-surat dan
kelengkapan kendaraan yang lain.
·
Pemanfaatan
ruang terbuka hijau
Luas
RTH dapat dihitung berdasarkan pemenuhan udara bersih dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
L = (0,04 x P) +
(0,33 x K)
20
Dimana :
L : luas hutan kota (ha)
0,04 : kebutuhan
rata-rata oksigen per
orang (kg/jam)
P :
jumlah penduduk
0,33 : kebutuhan
rata-rata oksigen per
kendaraan bermotor (kg/jam)
K : jumlah kendaraan bermotor
20 : kemampuan rata-rata 1 ha
hutan menghasilkan oksigen (kg/jam)
KUANTITAS DAN KUALITAS RTH PERKOTAAN
Penurunan kualitas ruang terbuka
public, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat
signifikan. Di kota-kota besar luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal
tahun 1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian besar telah dikonversi
menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung
perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru.
Perencanaan tata ruang wilayah
perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama
RTH di perkotaan pada umunya dan di kawasan permukiman pada khususnya. Perencanaan
tata ruang permukiman seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan
yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin
kelestarian lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap
bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun
bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai
ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau.
Issue yang berkaitan dengan ruang
terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa
tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup di
kawasan kota dan di lingkungan permukiman warga, bencana banjir/ longsor dan
perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan
destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup,
rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di
perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait
dengan keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi
bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan
karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan
tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga
dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan
tingkat harapan hidup masyarakat. Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas
dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak
langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat
menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami
oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan
penyediaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah menyebabkan kondisi
mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan.
Sementara itu secara teknis, issue yang
berkaitan dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut
terjadinya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder
dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di kawasan permukiman
yang dapat digunakan sebagai RTH. Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait
dengan kenyataan masih kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan
untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita
yang tersedia. Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan
belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis
dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di
samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat
memelihara dan mengelola RTH secara lebih professional.
Penentuan
Luasan Ruang Terbuka Hijau dan Contoh Penentuan RTH di Berbagai Wilayah
Penentuan luas ruang terbuka hijau ada
yang mengacu pada jumlah penduduk dan
kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota
ditetapkan seluas 1,9 M2/penduduk; di Jepang ditetapkan sebesar 5,0 M2/penduduk;
Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 M2/penduduk; Amerika menentukan
luasan hutan yang lebih fantastis yaitu 60 M2/penduduk; sedangkan DKI Jakarta
mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolah raga sebesar 1,5 M2/penduduk
(Green for Life: 2004). Perhitungan dengan issu kebutuhan oksigen tersebut
mudah diterima secara logis sehingga akan diperoleh luasan ruang terbuka hijau
sesuai dengan jumlah penghuninya. Semakin besar penduduk semakin luas RTH yang
harus tersedia.
Upaya
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas RTH
Ruang terbuka hijau sebaiknya ditanami
pepohonan yang mampu mengurangi polusi udara secara signifikan. Dari penelitian
yang pernah dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan, Departemen
Pekerjaan Umum (kini Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) di
laboratoriumnya di Bandung, dan di berbagai tempat di Bogor, Bandung, dan
Jakarta, diketahui ada lima tanaman pohon dan lima jenis tanaman perdu yang
bisa mereduksi polusi udara. Menurut
penelitian di laboratorium, kelima jenis pohon itu bisa mengurangi polusi udara
sekitar 47 – 69%. Kelima pohon itu antara lain:
·
Pohon felicium (Filicium decipiens),
·
Mahoni (Swietenia mahagoni),
·
Kenari (Canarium commune),
·
Salam (Syzygium polyanthum),
·
Anting-anting (Elaeocarpus grandiforus).
Sementara
itu, jenis tanaman perdu yang baik untuk mengurangi polusi udara adalah:
·
Puring (Codiaeum variegiatum),
·
Werkisiana,
·
Nusa indah (Mussaenda sp),
·
Soka (Ixora javanica),
·
Kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis).
Upaya yang sama bisa pula dilakukan
warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan penanaman pohon atau tanaman
perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa dikurangi.
Untuk menutupi kekurangan tempat menyimpan cadangan air tanah, setiap keluarga
bisa melengkapi rumahnya, yang masih memiliki sedikit halaman, dengan sumur
resapan. Dengan sumur resapan itu, air hujan yang turun tidak terbuang percuma,
tetapi ditampung di tanah. Sumur resapan merupakan sistem resapan buatan yang
dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah maupun dari air hujan yang
disalurkan melalui atap bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur, kolam dengan
resapan, dan sejenisnya. Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan mengurangi
debit banjir dan gena-ngan air di musim hujan.
Salah satu contoh upaya yang baik
untuk mengembalikan kualitas dan kuantitias RTH yang dapat diterapkan di
lingkungan permukiman adalah beberapa kebijaksanaan perencanaan oleh pemerintah
Kota Malang dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan sebagai berikut:
•
Pada kawasan
terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
¯
Untuk
kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total kawasan.
¯
Untuk
kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 15 % dari luas kawasan.
¯
Untuk
kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 20 % terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
•
Pada kawasan
terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan
tanahnya. Secara umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah
semakin besar kapling bangunan, nilai KDB dan KLB makin kecil, sedangkan
semakin kecil ukuran kapling, maka nilai KDB dan KLB akan semakin besar.
•
Untuk
mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan
baik yang telah ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan
air. Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota,
tinggi muka air tanah agar tidak makin menurun. Pada tingkat yang tinggi,
kekurangan air permukaan ini akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi
bangunan.
•
Untuk
meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan
resapan air yang menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Upaya lain
yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap
wilayah tangkapan air.
•
Untuk
kawasan pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu
jalur angkutan umum adalah 250 meter.
Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah
antara lain adalah:
•
Melakukan
revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat lebih mengakomodasikan
kebutuhan pengembangan RTH;
•
Menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
•
Menetapkan
kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota, dan indikator
keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;
•
Meningkatkan
kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau
(green cities);
•
Mengembangkan
mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat lebih meningkatkan peran swasta
dan masyarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntungkan;
•
Mengembangkan
proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di
beberapa wilayah kota.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2008. Upaya Mewujudkan Transportasi yang Ramah Lingkungan.http://bulletin.
Pena taanruang. net/ upload/ data_artikel/pdf.
BPLHD (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah), 2002, Untuk Menekan
Tingkat Polusi Udara Semakin Tinggi, Awal 2003 Pemerintah Terapkan Standar Baru
Emisi Gas Buang, http://www.pikiranrakyat.com/ cetak/1102/05/otokir/lainnya05.htm
Firdaus, F. (2005). Penghijauan
Perkotaan dalam Upaya Mendukung Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Hidup,
Makalah Sarasehan, Dipresentasikan dalam Sarasehan Kebersihan dan Kesehatan
Lingkungandi Bapedalda Propinsi D.I.Yogyakarta.
Firdaus, F. (2004).Aspek Pencemaran
dan Dampaknya (Studi Pencemaran Lingkungan Hidup untuk Kelangsungan Makhluk
Hidup), Makalah Sarasehan, Dipresentasikan dalam Sarasehan
Penyadaran Masyarakat RawanPencemaran di Bapedalda Propinsi D.I. Yogyakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997, Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan,
Jakarta.
KLH (Kementerian Lingkungan Hidup), 2003, Mengatasi Pencemaran Udara
denganEuro 2, http://www.kompas.co.id/kompascetak/0310/21/inspirasi/638724.htm
Kusminingrum, Nanny,dkk., 1997,Pengaruh
Tanaman Jalan terhadap Baku Mutu Lingkungan Jalan, Puslitbang Jalan, hal 11
– 26, Bandung.
M Farchan, 2006. Rencana Ruang Terbuka Hijau. Suara Merdeka edisi 24 Agustus 2006.
Moore, C, 2004, Mutu Udara Kota, Seri Makalah Hijau, Redaktur:
Howard Cincotta, Penerjemah: Tim Penerjemah IKIP Malang, US Embassy Jakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (Presiden) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Pencemaran Lingkungan.
Zvinakis -USAEP, 2002. Degradasi Kualitas Lingkungan Hidup di Kota-kota
Besar Asia sejak Awal 1990-an. Dalam Firdaus, F. (2004), Aspek Pencemaran
dan Dampaknya (Studi Pencemaran Lingkungan Hidup untuk Kelangsungan Makhluk
Hidup), Makalah Sarasehan, Dipresentasikan dalam Sarasehan
No comments:
Post a Comment