Pendahuluan
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupanbermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas
dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan
Syarifudin (2007) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup
masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara
arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang
berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan
kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang
berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku
manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan
dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di
masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan
diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia
terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah
kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga
keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan
kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada
etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan
lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan
bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban
manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal
di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah
berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat
dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI
No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup. Sedangkan sumberdaya alammerupakan sumberdaya yang mencakup sumberdaya
alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai
subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan
corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan demikian memerlukan pengelolaan dan
pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian
dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem
itu sendiri.
Pentingnya
Kearifan Lokal
Sebagaimana dipahami, dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat
memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide,
norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi
mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat
dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan
pemukimannya.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam
masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam
memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan
lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika
kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang
sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini,
penguatan modal sosial, seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan
norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi
basis yang utama.
Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang
hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan
lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu
merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya
masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari
itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna
menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan
lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari
pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap
lingkungannya.
Praktek-Praktek
Kearifan Lokal Masyarakat Jawa
Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat melakukan norma-norma,
nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan
kearifan lokal setempat. Beberapa contoh kearifan lokal yang ada pada
masyarakat jawa adalah sebagai berikut :
a. Kearifan Lokal Di Bidang Pertanian
Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim
digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan
dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan
tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk
bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak
memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung
seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso
maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Urut-urutan pranoto mongso menurut Sastro
Yuwono (http: //kejawen. co. cc/ pranoto mongso aliran
musim jawa Asli ) adalah sebagai berikut :
1.
Kasa
berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di
sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo.
2.
Karo
berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga
mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas.
3.
Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur
mulai kering dan anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa
irigasi) karena tidak ada air dan panas. Palawija
mulai panen.
4.
Kapat
berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai
menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah
5.
Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai
ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir
sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda.
6.
Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim
orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar
bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan.
7.
Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para
petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin
kencang
8.
Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27
hari (3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak
9.
Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai
berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai
kawin, tonggeret mulai bersuara
10.
Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen, banyak
hewan bunting
11.
Desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya
12.
Sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai
menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.
Dengan adanya
pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan,
tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso
ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok
tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan
petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.
Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung
merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut
garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini
merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut
garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang
bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah
terjadinya longsor.
b.
Mitos
Sebagai Kearifan Lokal dan pelestarian Lingkungan
Mitos menjadi bagian dari sistem
kepercayaan masyarakat. Sistem kepercayaan yang dimiliki suatu masyarakat tentu
akan berpengaruh pula pada pola pikir dan tingkah laku yang nantinya berujung
pada cara-cara pengelolaan lingkungan.
Babad Tanah Jawa
Dalam penciptaan peradaban jawa tidak
lepas dari mitos dan alam. Diceritakan menurut Babad Tanah jawa, dahulu
tanah jawa berupa hutan rimba yang dihuni oleh sekelompok makluk halus.
Kemudian manusia datang dan membangun peradaban di Pulau Jawa. Manusia tersebut
adalah seorang pendeta dari kerajaan arab yang mendapatkan titah dari rajanya
untuk membangun peradaban di tempat tersebut, Ketika ingin menjalankan
tugasnya, pendeta itu didatangi Semar, tokoh wayang yang lucu dan bijak,
sebagai pemimpin dari makhluk halus di jawa. Semar merasa
keberatan dengan kedatangan pendeta itu karena anak cucunya takut dengan ilmu
dan agama yang dia miliki. Namun pendeta tersebut tidak akan menggangu mereka,
jika mereka juga tidak menggangu manusia. Pendeta tersebut memberikan penawaran
kepada Semar untuk memerintahkan anak cucunya pindah ke gunung dan laut
selatan. Semar pun juga meminta kepada pendeta untuk memperingatkan manusia
untuk jangan merusak gunung dan laut selatan, karena itu adalah tempat tinggal
para penunggu tanah jawa. Jika manusia merusak tempat tinggalnya, maka mereka
akan menciptakn bencana sebagai balasan kepada manusia yang merusak alam
mereka. Di ceritakan perjanjian antara pendeta dengan semar menemui kata
sepakat sampai Pulau Jawa tumbuh peradabannya
Terlepas dari
benar tidaknya, mitos yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawa tersebut
memberikan pelajaran kepada masyarakat bagaimana sikap manusia terhadap alam. Meskipun
dalam cerita tersebut terdapat unsur gaib, namun masyarakat terutama yang
bersifat tradisional relatif dapat mengikuti perintah yang secara tersirat
dalam cerita tersebut.
Bentuk-bentuk penghormatan kepada gunung dan hutan
sebagai ruang yang diyakini sebagai tempat yang “berpenghuni” dalam arti
terdapat kekuatan gaib atau istilahnya angker, ternyata menciptakan
cara berperilaku yang tidak jauh dengan prinsip konservasi. Dalam prinsip
konservasi yang dibutuhkan adalah rasa saling menghormati dan menjaga alam. Masyarakat
cenderung akan berpikir ulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempat yang
dianggap angker. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat
tersebut. Meskipun bentuk dari penghormatan tersebut seringkali berupa
ritual-ritual tertentu, namun dalam hal ini mampu menciptakan sikap bijaksana
untuk menghargai alam. Suatu tempat yang dianggap angker membuat aktifitas
manusia jarang dilakukan di tempat tersebut. Hal ini justru dapat menjaga
keseimbangan ekosistem karena kurangnya aktifitas manusia.
Mitos Tentang
Hewan Keramat
Mitos juga
berlaku pada hewan-hewan tertentu yang dianggap keramat, seperti ular, kucing,
burung gagak, burung hantu, dan hewan lainnya. Dengan adanya mitos ini kelangsungan
hidup hewan tersebut lebih terjamin, karena masyarakat yang menganggap keramat
hewan ini. Mengingat satwa adalah bagian dari jaringan ekosistem yang turut
pula memainkan perannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai contoh
mitos Dewi Sri yang menjelma sebagai ular sawah. Mitos ini ada jauh sebelum
ilmu pengetahuan tentang lingkungan berkembang. Masyarakat petani
mengkeramatkan ular sawah karena dianggap sebagai jelmaan dari Dewi Sri yang
membawa keberkahan dan kesuburan sawah. Lewat kaca ilmu pengetahuan adanya ular
sawah tersebut akan membantu petani dalam mengendalikan hama terutama tikus
sawah. Kotoranya juga dapat menjadi pupuk yang menjaga kesuburan tanah.
Sesajen
Dalam
masyarakat jawa juga dikenal dengan sesajen. Sesajen meupakan
seperangkat persembahan yang digunakan untuk menghormati penunggu tempat-tempat
tertentu, seperti pohon besar, muara sungai, dan lain-lain. Pohon yang diberi sesajen
menghalangi seseorang untuk menebang pohon tersebut. Dalam hal ini berlaku
asumsi fungsi manifes dan laten dari adanya sesajen tersebut. Namun
dapat dilihat dengan adanya sesajen tersebut akan menghindari
terjadinya penebangan pohon.
Mitos Hari Baik
Masyarakat
jawa juga mengenal hari baik, dimana di hari tersebut masyarakat dapat
melakukan pekerjaannya. Dalam proses penanaman padi juga mengenal hari yang
baik, kapan melakukan penanaman dan kapan memetik hasil panen. Hal ini terjadi
pengaturan waktu penanaman secara tidak langsung. Dengan melihat masyarakat
petani di jaman sekarang yang menggunakan pestisida dan pupuk buatan, hal
tersebut dapat dikontrol dengan adanya penentuan hari baik tersebut. Tanah juga
akan mempunyai waktu untuk memperbaiki unsur hara yang terkandung di dalamnya. Hal
ini juga dapat mengendalikan penggunaan pestisida dan pupuk buatan secara
berlebihan.
Mitos Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada
Pohon Besar (Beringin)
Menganggap
suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut,
tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena
merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misalnya
untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga
karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin
akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air.
c.
Berbagai Pitutur
Luhur sebagai Kearifan Lokal dan Pelestarian Lingkungan
Dalam filsafah jawa dikenal pitutur
luhur berarti kata-kata luhur atau bisa juga diartikan kata-kata bijak. Bagi
masyarakat Jawa, pitutur luhur diperoleh dari leluhur mereka yang
mengajarkan nilai-nilai kehidupan tentang bagaimana bersikap sesama manusia
maupun perlakuan terhadap alam.
1. Dalam
hubungannya dengan integrasi filsafat jawa dikenal rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang berarti
kerukunan menumbuhkan kekuatan, perpecahan menumbuhkan kerusakan. Secara jelas menganjurkan kita untuk
hidup rukun, dalam arti masyarakat yang terintegrasi.
2.
Filsafat jawa juga mengajarkan kita
bagaimana bersikap kepada alam. Aja
nggugu karepe dhewe, jika diterjemahkan berarti jangan berbuat
sekehendak sendiri. Kata-kata ini mengajarkan tentang bagaimana kita harus
mengendalikan diri untuk tidak berbuat semena-mena kepada orang lain.
Mengajarkan kita tentang bagaimana mengelola nafsu, mengendalikan nafsu, dan
bukan dikendalikan oleh nafsu. Tidak berbuat semena-mena kepada orang lain
berarti juga tidak berbuat semena-mena terhadap alam. Jika berbuat demikian,
kerusakan alam karena ulah manusia demi kepentingan pribadi akan berdampak pula
pada orang lain.
3.
Ibu
bumi, bapa aksa. Artinya ibu adalah bumi, bapak adalah langit. Maksudnya
bumi adalah simbol ibu yang memberikan kesuburan tanah sebagai tempat kegiatan
pertanian. Langit adalah simbol bapak yang memberikan keberkahan lewat hujan.
Ajaran ini mengajarkan kita bagaimana menyayangi, melindungi, dan menghormati
bumi beserta langit sebagaimana kita melakukannya kepada kedua orang tua. Jika
kita merusak bumi, maka langit pun akan ikut marah. Seperti halnya jika kita
berbuat tidak baik kepada ibu, maka bapak pun akan marah, demikian pula
sebaliknya. Sebagai contoh adanya perusakan hutan. Hutan merupakan penopang
keseimbangan ekosistem. Jika dirusak, maka ekosistem akan kacau dan iklim
menjadi tidak menentu. Akibatnya langit menunjukan kemarahannya dengan fenomena
seperti badai, curah hujan tinggi, dan lain-lain.
4. Asta brata atau delapan
ajaran. Merupakan ajaran kemanusiaan dan kepemimpinan. Ajaran ini juga sering
diajarkan kepada putra mahkota raja-raja jawa. Ajaran ini bertolak pada
filsafat bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan. Dalam
perkembangannya asta brata tidak diajarkan hanya kepada putra mahkota
kerajaan, tetapi juga kepada masyarakat luas. Delapan elemen tersebut merupakan elemen yang saling
berkaitan satu sama lain dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hidup
manusia.
5. Dalam Babad Tanah Jawa
mengupas salah satu ajaran dari Syekh Lemah Abang atau terkenal dengan nama
Syekh Siti Jenar dengan konsep manunggal, bersatu. Ajaran ini sangat
melekat pada orang-orang kejawen. Terlepas benar atau tidaknya dari ajaran ini,
sebagaimana sifat sosiologi yang tidak memandang benar atau salah, tapi lebih
menekankan apa yang terjadi. Pada awal konsepnya manunggal adalah
bersatunya manusia dengan tuhan. Namun kosep ini dikembangkan oleh para
penganut kejawen. Manunggal
diartikan ke dalam banyak hal. Salah satunya adalah manunggal dengan
alam. Diajarkan lewat pitutur luhur dari konsep manunggal, jika
manusia sudah bersatu dengan alam, maka manusia tidak akan berani merusak alam.
Jika itu dilakukan, maka sama halnya dengan merusak diri sendiri.
d.
Ritual Sebagai Bentuk Kearifan Lokal dan Pelestarian
Lingkungan
Ritual merupakan bagian dari
kepercayaan. Di masyarakat jawa terdapat ritual yang berhubungan langsung
dengan alam. Melihat dari keberadaan mitos yang telah dijelaskan di atas, para
penunggu Pulau Jawa yaitu roh-roh halus menempati gunung, hutan, dan lautan
sebagai tempat tinggal mereka. Ritual diadakan oleh masyarakat jawa sebagai
bentuk penghormatan kepada roh-roh sebagai penunggu gunung, hutan, dan laut. Bentuk
dari ritual tersebut sangat beragam. Mulai dari penghormatan agar roh-roh
tersebut tidak menggangu masyarakat, sampai pada penghormatan sebagai bentuk
rasa syukur karena telah melimpahkan rejeki. Ritual-ritual
yang dilakukan masyarakat jawa tidak lepas dari pandangan masyarakat terhadap
alam, antara lain:
1. Dalam upacara selamatan yang meminta keberkahan terhadap roh-roh
penunggu, lelembut, jin, dan sebagainya yang menunggu tempat tertentu. Menurut
kepercayaan keberadaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan keberkahan dan
keselamatan. Namun jika manusia merusak tempat tinggal mereka, maka akan
terjadi malapetaka.
2. Ritual bersih desa sebagai wujud dari rasa syukur kepada tuhan atas
rahmat yang diberikan merupakan sebuah nilai yang secara tidak langsung
mengajarkan masyarakat akan pentingnya menjaga alam,
3. Para pendaki gunung sering kali melakukan ritual tertentu sebelum
melakukan untuk memohon keselamatan dan sebagai bentuk penghormatan kepada roh
penunggu gunung untuk tidak mengganggu. Secara tersirat ritual tersebut memaksa
para pendaki gunung untuk tidak melakukan perusakan ketika pendakian dilakukan.
Tantangan
Terhadap Kearifan Lokal
a.
Jumlah
Penduduk
Pertumbuhan
penduduk yang tinggi akan mempengaruhi kebutuhan pangan dan berbagai produksi
lainnya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Robert Malthus menyatakan bahwa
penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, hal ini terjadi karena laju
pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur tidak akan pernah terkejar oleh
pertambahan makanan dan pakaian yang hanya mengikuti deret hitung (Soerjani
dkk, 1997:99). Adanya kebutuhan pangan yang tinggi menuntut orang untuk
meningkatklan produksinya guna mencukupi kebutuhan tersebut, sehingga melakukan
modernisasi pertanian dengan melakukan revolusi hijau. Dalam Revolusi hijau
dikembangkan penggunaan bibit unggul, pemupukan kimia, pengendalian hama penyakit dengan obat-obatan, pembangunan
saluran irigasi secara besar-besaran untuk pengairan dan penggunaan teknologi pertanian
dengan traktor untuk mempercepat pekerjaan.
Sebagai akibat
pelaksanaan revolusi hijau yang menekankan pada tanaman padi secara monokultur
dengan bibit unggul maka akan mempengaruhi kehidupan petani lokal dalam
menggunakan bibit lokal yang sebenarnya mempunyai ketahanan terhadap hama dan
penyakit, pupuk kandang dan pupuk organik yang digantikan dengan pupuk kimia,
penggunaan hewan untuk membajak yang digantikan traktor, penggunaan obat-obatan
dari tanaman untuk pertanian dengan obat-obatan kimia. Melalui program
pemerintah ini, petani nampak hanya sebagai obyek, mereka tunduk patuh pada
kehendak penguasa sehingga hak petani untuk mengekspresikan sikap dan
kehendaknya terabaikan.
b.
Teknologi Modern dan Budaya
Perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang cepat menyebabkan kebudayaan berubah dengan cepat pula.
Selanjutnya Su Ritohardoyo (2006:42) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi
pada masyarakat yang kebudayaannya sudah maju atau kompleks, biasanya terwujud
dalam proses penemuan (discovery), penciptaan baru (invention),
dan melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Perkembangan
yang terwujud karena adanya inovasi (discovery maupun invention)
dan difusi inovasi mempercepat proses teknologi, industrialisasi dan
urbanisasi. Ketiga komponen tersebut secara bersama menghasilkan proses
modernisasi dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Teknologi modern secara
disadari atau tidak oleh masyarakat, sebenarnya menciptakan keinginan dan
harapan-harapan baru dan memberikan cara yang memungkinkan adanya peningkatan
kesejahteraan manusia.
Melihat kenyataan tersebut maka mudah
dipahami mengapa cita-cita tentang teknologi lokal cenderung diabaikan, karena
kebanyakan orang beranggapan bahwa teknologi modern selalu memiliki tingkat
percepatan yang jauh lebih dinamis. Menurut Budisusilo dalam Francis
Wahono(2005:217) teknologi lokal sebagai penguatan kehidupan manusia
sesungguhnya memiliki percepatan yang cukup dinamis, misalnya dalam menciptakan
lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan dasar. Selain menggususr pengetahuan dan
teknologi lokal teknologi modern dan seluruh sistem kelembagaannya juga
mempunyai potensi “perusakan seperti pembagian hasil yang timpang, pencemaran
lingkungan alam dan perusakan sistem nilai sosial-budaya masyarakat. Terjadinya
percepatan intregrasi dari lokal ke global yang didukung oleh berbagai bentuk
perkembangan teknologi (hardware dan software) telah menjadi
suatu sistem dunia yang dominan.
Banyak media informasi dan komunikasi
dengan gencarnya menawarkan produk berikut gaya hidup, gaya konsumsi, dan berbagai sarana hidup yang
dianggap sebagai tolok ukur kemajuan dan kebahagiaan yang belum pernah dijumpai
sebelumnya. Budisusilo dalam Francis Wahono (2005:218) menjelaskan sebagai
akibat perkembangan teknologi produksi yang pesat, baik pada sektor pertanian
(bioteknologi dan mekanisasi), sektor industri (manufaktur dan eksplorasi
alam), maupun sektor jasa (transportasi, medis, laboratoris, komunikasi dan
informasi), masyarakat pun menjadi terbiasa menikmati produk barang dan jasa
yang bersifat massif dengan efisiensi teknis, kualitas dan jenis yang sama pada
semua belahan bumi. Di samping itu ketersediaan akses pada jaringan pemasaran
seperti : hypermarket, supermarket, minimarket bahkan traditional market yang ditopang
oleh fasilitas/alat bayar yang mudah dan cepat seperti telemarket, cybermarket
telah merubah budaya dan kebiasaan baru sejumlah kalangan masyarakat. Pada
gilirannya teknologi modern menjadi “standard produksi bagi pasar dunia” yang
mengabaikan kemampuan penguasaan teknologi/pengetahuan keanekaragaman
sumberdaya lokal dan menganggap teknologi local sebagai inferior.
Percepatan integrasi tersebut telah
mengakibatkan berbagai kondisi paradoksal, seperti meningkatnya jumlah
pengangguran, kemiskinan, marginalisasi nilai kemanusiaan, krisis lingkungan,
kerusakan dan konflik sumberdaya alam dan lingkungan. Melihat kenyataan
tersebut maka perlu dicari cara bagaimana pengetahuan dan teknologi lokal dapat
digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat banyak
sehingga kerusakan lingkungan social dan alam pun dapat terhindarkan.
c.
Modal Besar
Eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan sekarang ini telah sampai pada titik kritis, yang menimbulkan
berbagai masalah lingkungan dan masyarakat. Di samping masalah lingkungan yang
terjadi di wilayah-wilayah dimana dilakukan eksploitasi sumberdaya alam,
sebenarnya terdapat masalah kemanusiaan, yaitu tersingkirnya masyarakat asli (indigenous
people) yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah eksploitasi baik eksploitasi
sumberdaya hutan, sumberdaya laut, maupun hasil tambang. Mereka yang telah
turun temurun tinggal dan menggantungkan kehidupannya pada hutan maupun laut,
sekarang seiring dengan masuknya modal besar baik secara legal maupun illegal
yang telah mngeksploitasi sumberdaya alam, maka kedaulatan dan akses mereka
terhadap sumberdaya tersebut terampas.
Fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan
dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam selama ini yang
lebih menitikberatkan kepada upaya perolehan devisa Negara melalui eksploitasi
sumberdaya alam yang bernilai ekonomis. Besarnya keuntungan yang bias diraih
diikuti dengan meningkatnya devisa dan daya serap tenaga kerja pada sektor yang
bersangkutan, semakin menguatnya legitimasi beroperasinya modal besar di sektor
tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekayaan sumberdaya alam dan hayati
yang dimiliki dipandang sebagai sumberdaya yang dapat diekstraksi untuk
mendapatkan surplus.
Namun demikian di lain pihak,
keberhasilan perolehan devisa tersebut harus dibayar mahal dengan rusaknya
ekosistem daerah yang bersangkutan dan akan berakibat pada terganggunya
ekosistem global. Selanjutnya secara sosial budaya, terjadi konflik kepentingan
antara tatanan budaya lokal dan budaya modern yang melekat pada industrialisasi
dari sumberdaya alam yang dieksploitasi. Menurut Rimbo Gunawan dkk, (1998:v)
persoalan tersebut di satu pihak, yaitu modernisasi melihat bahwa tatanan
budaya lokal merupakan hambatan yang harus “dihilangkan” atau “diganti” agar
proses pembangunan tidak mendapat gangguan serius dari komunitas lokal,
sementara itu masyarakat lokal memandang industrialisasi dari hasil sumberdaya
alam yang dieksploitasi sebagai ancaman bagi hak-hak adat mereka terhadap
lingkungannya Kejadian-kejadian tersebut khususnya pada sumberdaya hutan
diperparah dengan banyaknya pengusaha illegal yang hanya mementingkan
keuntungan tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, yang
juga wujud dari keserakahan.
d.
Kemiskinan dan Kesenjangan
Kemiskinan dan kesenjangan
merupakan salah satu masalah yang paling berpengaruh terhadap timbulnya masalah
sosial. Masalah sosial yang bersumber dari kemiskinan dan kesenjangan atau
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sering kali tidak berdiri sendiri tetapi
saling berkaitan dengan faktor lain. Kemiskinan bukan saja menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di banyak Negara berkembang.
Kemiskinan juga mempengaruhi orang bertindak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
meskipun tindakan tersebut kadang bertentangan dengan aturan atau norma-norma
yang sudah ada atau pun berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Maka dari
itu kemiskinan dan lingkungan maerupakan isu strategis dan menjadi tantangan
utama dalam proses pembangunan berkelanjutan dan menjadi sasaran dalam Agenda
21. Untuk itu maka UNDP dan EP menggalakkan program inisiatif penanggulangan
kemiskinan dikaitkan dengan lingkungan. Basis program ini adalah suatu solusi
“win-win” yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pengentasan rakyat miskin
dan perbaikan lingkungan. (Baiquni
dan Susilo Wardani, 2002)
Solusi
a. Mempertahankan
Kearifan lokal
Di sisa-sisa tenaga kearifan lokal dalam mempertahankan eksistensinya,
diperlukan suatu usaha untuk menjaganya
untuk tetap berkembang dalam masyarakat. Usaha tersebut harus disertai dengan
kesadaran akan peranan kearifan lokal yang sangat penting di dalam menghadapi
permasalahan.
Pendidikan merupakan media dimana dalam proses pembelajaran ditanamkan
nilai-nilai. Dalam memberdayakan kearifan lokal dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan dalam mata pelajaran tertentu, misalnya muatan lokal.
Sedangkan untuk menanamkan nilai-nilai kelingkungan dapat dilakukan dengan hal
yang sama maupun dengan mata pelajaran khusus, seperti pendidikan kelingkungan
hidup.
Pendidikan tidak hanya di dalam bangku
sekolah. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan sejak dini yang
dimulai dari keluarga dengan memperkenalkan kearifan lokal dan menanamkan
pedulu lingkungan kepada anggota keluarga.
Sesuai yang telah dibahas di atas,
globalisasi dan westernisasi mengancam kearifan lokal. Untuk itu dalam setiap
unsur asing yang masuk, hendaknya tetap memegang nilai-nilai asli sebagai
pedoman.
b.
Usulan Bagi Pemerintah
Lebih menegakkan hukum tentang
unadang-undang lingkungan hidup merupakan hal yang wajib dilakukan. Disamping
itu diperlukan usaha penghijauan dan gerakan peduli lingkungan yang harus
dilakukan mengingat kerusakan alam semakin parah.
c.
Usulan bagi masyarakat
Kesadaran, kepedulian, dan sikap tanggung
jawab diperlukan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Sadar bahwa lingkungan
merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup manusia. Peduli untuk
melestarikan dan menjaga lingkungan, serta kegiatan manusia harus disertai rasa
tanggung jawab terhadap alam.
Daftar
Referensi
Bakti Setiawan, 2006. Pembangunan
Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan. Dari Ide Ke Gerakan, PPLH Regional
Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, Yogyakarta
Francis Wahono, 2005. Pangan,
Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Penerbit Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas, Yogyakarta Gunggung Seno Aji, 2003.
http://kejawen.co.cc/pranoto-mongso-aliran-musim-asli-jawa. Kejawen: Pandangan Hidup dan Falsafah Kehidupan
Orang Jawa, diakses 26 Januari 2009..
Jatna Supriatna, 2008. Melestarikan
Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Koentjaraningrat.2007.Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia.Jakarta:Djambatan
M. Baiquni dan Susilo Wardani, 2002. Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan. Penerbit:: Transmedia Global Wacana. Yogyakarta
Nababan, 1995. Kearifan
Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Analisis CSIS :
Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6
Tahun 1995
Nasruddin Anshoriy dan
Sudarsono, 2008. Kearifan Lingkugan, Dalam Perspektif Budaya Jawa, Yayasan
Obor Indonesia.
PPLH Regional Jawa, 2006. Kearifan
Lingkungan Untuk Indonesiaku, PPLH Jawa, Yogyakarta
Purwadi.2009.Folklor Jawa.
Yogyakarta:Pura Pustaka
Rahimsyah.2006.Siti Jenar: Cikal Bakal Faham Kejawen.Surabaya:Pustaka
Agung
Sony Keraf,
2006. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta
Su
Ritohardoyo, 2006. Bahan Ajar Ekologi Manusia. Program Studi Ilmu
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta
Utsman, Sabian.2009.Dasar-Dasar Sosiologi Hukum.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
izin share kak
ReplyDeletehttp://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-4-aturan-dasar-menentukan.html
ReplyDeleteTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong
izin shere
ReplyDelete