PENDAHULUAN
Masalah perkotaan pada saat ini telah
menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa
pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Dalam
tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka
hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya,
ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan
terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh
jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda
dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya
penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota
sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan
menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas
jalan tertentu.
Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang
terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan
ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas udara. Kualitas
udara di perkotaan sangat dipengaruhi oleh emisi gas pencemar yang dihasilkan
oleh kendaraan bermotor. Tingkat pencemaran udara memiliki relasi positif
dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di kawasan perkotaan. Besarnya
peranan dan kontribusi kendaraan bermotor dalam pencemaran udara di kawasan
perkotaan, menjadikan upaya pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai syarat
utama dalam perencanaan dan penataan ruang. Penyediaan RTH merupakan salah satu
unsur dalam penanganan pencemaran oleh kendaraan bermotor yang implementatif. Pentingnya
pengadaan RTH di kawasan perkotaan menyebabkan Pemerintah melalui Undang-Undang
No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mewajibkan untuk menyediakan RTH sebesar
30% dari luas area.
RUANG TERBUKA HIJAU
(Sumber
: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan)
Istilah dan Definisi Terkait RTH
·
Elemen lansekap, adalah segala
sesuatu yang berwujud benda, suara, warna dan suasana yang merupakan pembentuk
lansekap, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Elemen lansekap
yang berupa benda terdiri dari dua unsur yaitu benda hidup dan benda mati;
sedangkan yang dimaksud dengan benda hidup ialah tanaman, dan yang dimaksud
dengan benda mati adalah tanah, pasir, batu, dan elemen-elemen lainnya yang
berbentuk padat maupun cair.
·
Garis sempadan, adalah garis batas
luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak
tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi
saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta
api, jaringan tenaga listrik, pipa gas.
·
Hutan kota,
adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat
di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat yang berwenang.
·
Jalur hijau, adalah jalur penempatan
tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan
(RUMIJA) maupun di dalam ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur
hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya
berwarna hijau.
·
Kawasan, adalah kesatuan geografis
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta
mempunyai fungsi utama tertentu.
·
Kawasan perkotaan, adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
·
Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
·
Koefisien Daerah Hijau (KDH), adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah
perpetakan/daerah perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan.
·
Lansekap jalan, adalah wajah dari
karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik yang
terbentuk dari elemen lansekap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang
mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lansekap
buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lansekap jalan ini
mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik
jalan dan diperuntukkan terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan
untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman dan memenuhi fungsi
keamanan.
·
Penutup tanah, adalah semua jenis
tumbuhan yang difungsikan sebagai penutup tanah.
·
Perdu, adalah tumbuhan berkayu
dengan percabangan mulai dari pangkal batang dan memiliki lebih dari satu
batang utama.
·
Pohon, adalah semua tumbuhan
berbatang pokok tunggal berkayu keras.
·
Pohon kecil, adalah pohon yang
memiliki ketinggian sampai dengan 7 meter.
·
Pohon sedang, adalah pohon yang
memiliki ketinggian dewasa 7-12 meter.
·
Pohon besar, adalah pohon yang
memiliki ketinggian dewasa lebih dari 12 meter.
·
Ruang terbuka, adalah ruang-ruang
dalam kota
atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk
area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang
pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau
dan ruang terbuka non hijau.
·
Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah
area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam.
·
Ruang terbuka non hijau, adalah
ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH,
berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.
·
Ruang terbuka hijau privat, adalah
RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk
kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
·
Ruang terbuka hijau publik, adalah
RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
·
Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH
yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan
atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling
mengganggu.
·
Semak, adalah tumbuhan berbatang
hijau serta tidak berkayu disebut sebagai herbaseus.
·
Tajuk, adalah bentuk
alami dari struktur percabangan dan diameter tajuk.
·
Taman kota,
adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan
rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota.
·
Taman
lingkungan, adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai
sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat lingkungan.
·
Tanaman penutup
tanah, adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah yang bersifat selain
mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah yang kekurangan unsur hara. Biasanya
merupakan tanaman antara bagi tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman
yang tetap (permanen).
·
Tanggul, adalah
bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu
untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai.
·
Vegetasi/tumbuhan,
adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal dari kawasan
itu atau didatangkan dari luar, meliputi pohon, perdu, semak, dan rumput.
·
Wilayah, adalah
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan kondisi geografis.
Fungsi RTH
RTH memiliki fungsi sebagai berikut:
·
Fungsi utama
(intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
¯
memberi jaminan pengadaan RTH
menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);
¯
pengatur iklim mikro agar sistem
sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;
¯
sebagai peneduh;
¯
produsen oksigen;
¯
penyerap air hujan;
¯
penyedia habitat satwa;
¯
penyerap polutan media udara, air
dan tanah, serta;
¯
penahan angin.
·
Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
¯
Fungsi sosial dan budaya:
-
menggambarkan ekspresi budaya lokal;
- merupakan media komunikasi warga kota;
- tempat rekreasi;
- wadah dan objek pendidikan,
penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
¯
Fungsi ekonomi:
- sumber produk yang bisa dijual,
seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur;
- bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan,
kehutanan dan lainlain.
¯
Fungsi estetika:
-
meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota
baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro:
lansekap kota
secara keseluruhan;
- menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
- pembentuk faktor keindahan
arsitektural;
- menciptakan suasana serasi dan
seimbang antara area terbangun dan tidakterbangun.
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat
fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan
keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan
konservasi hayati.
Jenis-Jenis RTH
·
Secara fisik RTH dapat dibedakan
menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan
taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,
lapangan olah raga, dan kebun bunga.
·
Dari segi
fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi.
¯
Secara ekologis
RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi
udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang
berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman
botani, sempadan sungai dll.
¯
Secara
sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi
sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH
yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga,
kebun raya, TPU dsb.
¯
Secara
arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di
jalan-jalan kota.
¯
Sementara itu
RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti
pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban
agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat
mendatangkan wisatawan.
·
Sementara itu
secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis
dan konfigurasi planologis.
¯
RTH dengan
konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan
lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb.
¯
Sedangkan RTH
dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti
pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH
kota maupun taman-taman regional/ nasional.
·
Dari segi
kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang dimiliki oleh umum dan terbuka
bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang
berada pada lahan-lahan pribadi.
Penyediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pada Kawasan Perkotaan (Sumber: Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Penataan Ruang)
a.
Penyediaan RTH Berdasarkan Luas
Wilayah
Penyediaan
RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:
·
ruang terbuka hijau di perkotaan
terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;
·
proporsi RTH pada wilayah perkotaan
adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan
10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;
·
apabila luas RTH baik publik maupun
privat di kota
yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau
perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan
keberadaannya.
Proporsi
30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
Target
luas sebesar 30% dari luas wilayah kota
dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara
tipikal.
b. Penyediaan
RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Untuk
menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan
antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai
peraturan yang berlaku.
Tabel.1
Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
No.
|
Unit Lingkungan
|
Tipe RTH
|
Luas Minimal/ Unit (m)
|
luas minimal/
kapita(m)
|
Lokasi
|
1
|
250 jiwa
|
Taman RT
|
250
|
1,0
|
ditengah Lingkungan RT
|
2
|
2500 jiwa
|
Taman RW
|
1250
|
0,5
|
dipusat kegiatan RW
|
3
|
30.000 jiwa
|
Taman Kelurahan
|
9000
|
0,3
|
dikelompokkan dengan
sekolah/pusat kelurahan
|
4
|
120.000 jiwa
|
Taman Kecamatan
|
24000
|
0,2
|
dikelompokkan
dengan sekolah/pusat kecamatan
|
Pemakaman
|
disesuaikan
|
1,2
|
tersebar
|
||
5
|
480.000 jiwa
|
taman kota
|
144000
|
0,3
|
dipusat wilayah/kota
|
hutan kota
|
disesuaikan
|
4,0
|
didalam/kawasan
pinggiran
|
||
untuk fungsi-fungsi
tertentu
|
disesuaikan
|
12,5
|
disesuaikan dengan
kebutuhan
|
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan
c. Penyediaan
RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi
RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan
prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan
kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak
teganggu.
RTH
kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH
sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata
air.
Arahan
Penyediaan RTH bagi kawasan permukiman
a.
RTH
Taman Rukun Tetangga
Taman
Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani
kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2
per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius
kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani.
Luas
area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas
taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon
pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.
b.
RTH Taman
Rukun Warga
RTH
Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk
melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olahraga
masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas taman
ini minimal 0,5 m2 per penduduk RW, dengan luas minimal 1.250 m2. Lokasi taman
berada pada radius kurang dari 1000 m dari rumah-rumah penduduk yang
dilayaninya.
Luas
area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas
taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman
sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis
pohon kecil atau sedang.
c.
RTH Kelurahan
RTH
kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani
penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per penduduk kelurahan,
dengan luas minimal taman 9.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan
yang bersangkutan.
Luas
area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas
taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman
sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (duapuluhlima) pohon pelindung dari
jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50
(limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis
taman pasif.
d.
RTH Kecamatan
RTH
kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani
penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per penduduk kecamatan,
dengan luas taman minimal 24.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan
yang bersangkutan.
Luas
area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas
taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman
sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari
jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon
tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.
Kriteria Vegetasi RTH
a. Kriteria Vegetasi untuk RTH
Pekarangan Rumah Besar, Pekarangan Rumah Sedang, Pekarangan Rumah Kecil,
Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha
Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai
berikut:
·
memiliki nilai
estetika yang menonjol;
·
sistem
perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak konstruksi dan
·
bangunan;
·
tidak beracun,
tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran
·
tidak mengganggu pondasi;
·
ketinggian tanaman bervariasi, warna
hijau dengan variasi warna lain
·
seimbang;
·
jenis tanaman
tahunan atau musiman;
·
tahan terhadap
hama penyakit tanaman;
·
mampu menjerap
dan menyerap cemaran udara;
·
sedapat mungkin
merupakan tanaman yang mengundang kehadiran burung.
b. Kriteria Vegetasi untuk Taman
Atap Bangunan dan Tanaman dalam Pot
Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut:
·
tanaman tidak
berakar dalam sehingga mampu tumbuh baik dalam pot atau bak tanaman;
·
relatif tahan terhadap kekurangan
air;
·
perakaran dan
pertumbuhan batang yang tidak mengganggu struktur bangunan;
·
tahan dan
tumbuh baik pada temperatur lingkungan yang tinggi;
·
mudah dalam pemeliharaan.
1.
Permukiman
(Sumber: Undang-Undang Repoblik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman)
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a.
memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu
kebutuhan dasar manusia,dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan
rakyat;
b.
mewujudkan
perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
dan teratur;
c.
memberi arah
pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional;
d.
menunjang
pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang bidang lain.
Istilah dan Definisi Terkait Permukiman
Istilah dalam perumahan dan permukiman
antara lain adalah sebagai berikut:
·
Rumah adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga;
·
Perumahan
adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan;
·
Permukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan;
·
Satuan
lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur;
·
Prasarana
lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan
lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
·
Sarana
lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya;
·
Utilitas umum adalah sarana
penunjang untuk pelayanan lingkungan;
·
Kawasan siap bangun adalah sebidang
tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan
permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau
lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu
dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai
dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
lingkungan;
·
Lingkungan siap bangun adalah
sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri
sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan
selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun
kaveling tanah matang;
·
Kaveling tanah matang adalah
sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan
dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
·
Konsolidasi tanah permukiman adalah
upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh
masyarakat Pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap
bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang
ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II.
Ciri Utama Permukiman
Dalam UU No. 4 tahun 1992,
disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut:
·
Mayoritas peruntukan adalah hunian
·
Fasilitas yang dikembangkan lebih
pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood)
·
Luas kawasan
yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha
·
Kebutuhan
fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung
atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota.
A.
METODOLOGI PENELITIAN
Meliputi tiga
tahapan, yaitu tahap persiapan , tahap pengumpulan data, serta tahapan
analisis. Adapun hanya tahap pertama yang akan dibahas dalam proposal ini.
Tahap persiapan merupakan tahapan yang penting karena tahap ini merupakan
tahapan dasar yang menentukan keberlangsungan proses berikutnya. Adapun tahap
persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahapan berikut:
a. Sumber masalah
Masalah didefinisikan sebagai penyimpangan dari apa yang
seharusnya dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Masalah keberadaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di permukiman perkotaan diawali dari adanya peningkatan
jumlah penduduk, baik yang terjadi secara alami, maupun akibat migrasi serta
proses pengkotaan yang berlangsung cepat.
b. Rumusan masalah
Ruang Terbuka Hijau yang kuantitasnya semakin berkurang
seiring dengan tingginya tingkat urbanisasi kota
besar yang mengakibatkan gencarnya konversi guna lahan dari lahan terbuka
menjadi lahan terbangun. Untuk itu perlu dilakukan kajian terkait keberadaan
Ruang Terbuka Hijau, baik penilaiannya secara kuantitas maupun kualitas agar
dapat menjadi acuan bagi penyusunan kebijakan terkait Rung Hijau Perkotaan di
masa yang akan datang. Untuk itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Kuantitas dan Kualitas Ruang
Terbuka Hijau (RTH) Pada Berbagai Tipe Permukiman di Kota Semarang?”
c. Merumuskan hipotesis
Untuk menjawab rumusan masalah yang bersifat sementara maka,
dapat diberikan solusi dengan membaca referensi teoritis yang relevan dengan
masalah dan berfikir. Selain itu, penemuan penelitian sebelumnya yang relevan
juga dapat digunakan sebagai bahan untuk memberikan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah (hipotesis). Jadi, jika jawaban terhadap rumusan masalah yang baru
didasarkan pada teori dan didukung oleh penelitian yang relevan, tetapi belum
ada pembuktian secara empiris (faktual), maka jawaban tersebut disebut
hipotesis.
d. Metode penelitian
Untuk menguji hipotesis, dapat digunakan
strategi/pendekatan/desain penelitian yang sesuai. Pertimbangan dalam memilih metode tingkat ketelitian data
yang diharapkan dan konsisten yang dikehendaki. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kuantitatif dengan melakukan perbandingan
variabel-variabel berdasarkan data dengan standar dan acuan yang bersifat
kuantitatif.
B.
KAJIAN PENURUNAN KUALITAS RTH
Penurunan kualitas ruang terbuka public, terutama ruang
terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota
besar luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi kurang
dari 10% pada saat ini. RTH yang ada
sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti
jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan
permukiman baru.
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat
penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan pada
umunya dan di kawasan permukiman pada khususnya. Perencanaan tata ruang permukiman
seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami
harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan
kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural
hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya.
Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik
hijau maupun non-hijau.
Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang
terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan,
seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan kota
dan di lingkungan permukiman warga, bencana banjir/ longsor dan perubahan
perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif
seperti kriminalitas dan vandalisme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air
tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal
yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara
ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor
di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air
karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan
(run-off). Kondisi
tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan
menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyarakat. Secara
sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara
kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh
kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial
untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya
kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara
psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang
makin buruk dan tertekan.
Sementara itu
secara teknis, issue yang berkaitan dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan
antara lain menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya
keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/
lahan di kawasan permukiman yang dapat digunakan sebagai RTH. Sub-optimalisasi
ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan masih kurang memadainya proporsi
wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah
ruang terbuka per kapita yang tersedia. Sedangkan secara kelembagaan, masalah
RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang
RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH
masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus
ditingkatkan untuk dapat memelihara dan mengelola RTH secara lebih
professional.
Penentuan Luasan Ruang Terbuka Hijau dan Contoh Penentuan RTH di Berbagai
Wilayah
Penentuan luas
ruang terbuka hijau ada yang mengacu pada jumlah
penduduk dan kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan
kota ditetapkan seluas 1,9 M2/penduduk; di Jepang ditetapkan sebesar 5,0
M2/penduduk; Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 M2/penduduk; Amerika
menentukan luasan hutan yang lebih fantastis yaitu 60 M2/penduduk; sedangkan
DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolah raga sebesar 1,5
M2/penduduk (Green for Life: 2004). Perhitungan dengan issu kebutuhan oksigen
tersebut mudah diterima secara logis sehingga akan diperoleh luasan ruang
terbuka hijau sesuai dengan jumlah penghuninya. Semakin besar penduduk semakin
luas RTH yang harus tersedia.
Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas RTH
Ruang terbuka
hijau sebaiknya ditanami pepohonan yang mampu mengurangi polusi udara secara
signifikan. Dari penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Jalan, Departemen Pekerjaan Umum (kini Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah) di laboratoriumnya di Bandung, dan di berbagai tempat di
Bogor, Bandung, dan Jakarta, diketahui ada lima tanaman pohon dan lima jenis
tanaman perdu yang bisa mereduksi polusi udara. Menurut penelitian di laboratorium, kelima jenis pohon
itu bisa mengurangi polusi udara sekitar 47 – 69%. Kelima
pohon itu antara lain:
·
Pohon felicium (Filicium decipiens),
·
Mahoni (Swietenia mahagoni),
·
Kenari (Canarium commune),
·
Salam (Syzygium polyanthum),
·
Anting-anting (Elaeocarpus
grandiforus).
Sementara
itu, jenis tanaman perdu yang baik untuk mengurangi polusi udara adalah:
·
Puring (Codiaeum variegiatum),
·
Werkisiana,
·
Nusa indah (Mussaenda sp),
·
Soka (Ixora javanica),
·
Kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis).
Upaya yang
sama bisa pula dilakukan warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan
penanaman pohon atau tanaman perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk,
polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk menutupi kekurangan tempat menyimpan
cadangan air tanah, setiap keluarga bisa melengkapi rumahnya, yang masih
memiliki sedikit halaman, dengan sumur resapan. Dengan sumur resapan itu, air
hujan yang turun tidak terbuang percuma, tetapi ditampung di tanah. Sumur
resapan merupakan sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan, baik
dari permukaan tanah maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap
bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur, kolam dengan resapan, dan sejenisnya.
Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan mengurangi debit banjir dan
gena-ngan air di musim hujan.
Salah satu contoh
upaya yang baik untuk mengembalikan kualitas dan kuantitias RTH yang dapat
diterapkan di lingkungan permukiman adalah beberapa kebijaksanaan perencanaan
oleh pemerintah Kota Malang dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan
sebagai berikut:
•
Pada kawasan
terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
¯
Untuk
kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total kawasan.
¯
Untuk
kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 15 % dari luas kawasan.
¯
Untuk
kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 20 % terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
•
Pada kawasan
terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan
tanahnya. Secara umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah
semakin besar kapling bangunan, nilai KDB dan KLB makin kecil, sedangkan
semakin kecil ukuran kapling, maka nilai KDB dan KLB akan semakin besar.
•
Untuk
mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan
baik yang telah ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan
air. Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota,
tinggi muka air tanah agar tidak makin menurun. Pada tingkat yang tinggi,
kekurangan air permukaan ini akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi
bangunan.
•
Untuk
meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan
resapan air yang menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Upaya lain
yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap
wilayah tangkapan air.
•
Untuk
kawasan pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu
jalur angkutan umum adalah 250 meter.
C.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Kecenderungan
terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka public di kawasan permukiman,
terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan.
RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan
seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan
kawasan permukiman baru. Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif
dan berkelanjutan, maka sudah saatnya kita memberikan perhatian yang cukup
terhadap keberadaan ruang terbuka public, khususnya RTH. Beberapa solusi yang
dapat dilakukan antara lain membuat peraturan tentang standar penataan ruang
berkaitan dengan penyediaan ruang terbuka hijau, serta upaya-upaya dalam skala
kecil yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri seperti menanam pohon
atau tanaman perdu, selain udara menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa
dikurangi. Untuk menutupi kekurangan tempat menyimpan cadangan air tanah,
setiap keluarga bisa melengkapi rumahnya, yang masih memiliki sedikit halaman,
dengan sumur resapan.
2. Rekomendasi
Beberapa
upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah:
•
Melakukan revisi UU 24/1992 tentang
penataan ruang untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan pengembangan RTH;
•
Menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
•
Menetapkan
kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota, dan indikator
keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;
•
Meningkatkan
kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau
(green cities);
•
Mengembangkan
mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat lebih meningkatkan peran swasta
dan masyarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntungkan;
•
Mengembangkan proyek-proyek
percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.
Oleh : Dyah Ayu Putri
Kusuma, ST.
Magister Ilmu Lingkungan
Undip –Isu Lingkungan Dalam Pembangunan
No comments:
Post a Comment