A.
Pendahuluan
Sepanjang yang kita pahami, manusia sesungguhnya mendiami dua
dunia. Dunia pertama adalah dunia alamiah tumbuhan dan hewan, tanah air dan
udara, yang telah beribu-ribu juta tahun mendahului adanya manusia yang
merupakan bagian dari padanya. Dunia kedua adalah dunia pranata sosial dan
artefak, yang diciptakannya untuk dirinya sendiri dengan mempergunakan alat dan
mesin, ilmu pengetahuan dan impiannya untuk membentuk suatu lingkungan hidup
yang tunduk setia pada tujuan dan arah yang ditetapkannya. Dalam dunia seperti
itulah manusia telah memainkan peran, fungsi dan tugas-tugas yang pada akhirnya
menghasilkan perubahan dengan segala kompleksitas dampaknya, baik positif
maupun negatif pada alam dan lingkungan hidup organisme.
Ilmu pengetahuan telah
berhasil menemukan banyak hal yang mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan
manusia, terutama sekali setelah revolusi industri. Teknologi yang digunakan
untuk memproduksi barang dan jasa bagi ummat manusia telah berhasil memenuhi
kebutuhan perdagangan, ekonomi, dan mendorong terbentuknya pasar bebas.
Penggunaan teknologi tinggi dalam industri di satu sisi memang mampu memenuhi
kebutuhan dalam jumlah besar dan cepat. Tetapi pada sisi yang lain teknologi
juga sangat boros dengan penggunaan bahan baku yang bersifat alami, baik yang
terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Teknologi sebagai hasil dari revolusi
industri telah menghasilkan pencemaran di udara karena penggunaan bahan bakar
fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas).
Ada tiga bagian planet
bumi yang penting yaitu udara, air dan tanah. Atmosfir yang meliputi udara dan
cuaca, hidrosfer yang meliputi sungai, danau dan lautan, dan litosfer dimana
batuan yang hancur selama beribu-ribu tahun memberi manusia lapisan tanah yang
tipis dan rentan. Ketiga lapisan bumi ini kait mengkait sangat erat di dalam
semua sistem yang mendukung kehidupan
organisme. Tanpa ketiganya maka biosfer dimana manusia hidup tidak akan
ada artinya. Penjelasan ini seharusnya memberikan penyadaran kepada manusia
bahwa sudah sangat jelas keterkaitan dan saling keterikatan antara udara, air
dan tanah, harus terus ada seumur dunia ini. Apabila salah satu diantara udara,
air dan tanah dipergunakan secara destrukif (merusak), maka akan memberikan
dampak bahaya yang besar bagi kehidupan (Ward and Dubos, 1974).
Penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan, konversi dan
penggunaan lahan tidak bertanggung jawab, telah menimbulkan emisi karbon ke
atmosfer yang berlebihan dan menybebabkan tragedi efek gas rumah kaca (Greenhouses gases effect),
dapat dijadikan contoh dari pernyataan Ward dan Dubos tersebut. Efek Gas Rumah
Kaca (ERK) memproduksi perubahan iklim yang akan berdampak pada seluruh
eksistensi dan keberlanjutan kehidupan manusia dan bio fisik alam. Emisi karbon dari bahan bakar fosil menurut sektor adalah: transportasi
(20%), industri (17%), rumah tangga dan perdagangan (14%),pembangkit listrik
(40%), dan lainnya 8% (Firdaus, 2007).
Perhelatan dunia tentang konferensi multi
pihak ke 13 (COP 13) di Bali, dilaksanakan oleh United Nation Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (bagian dari kerja PBB untuk lingkungan
hidup). Kesepakatan Protokol Kyoto melalui COP 3 tahun 1997, adalah memberikan
dasar bagi negara-negara industri penghasil emisi polutan di atmosfer agar
mengurangi emisi GRK gabungan. Protokol Kyoto juga menghasilkan 3 skenario
mekanisme kredit karbon seperti Joint Implementation (JI), Emission trading
(ET), dan Clean Development Mechanism (CDM, untuk negara berkembang)3. COP
13 Bali merupakan arena ”negosiasi” implementasi Protokol Kyoto, dan negosiasi
usulan baru dari negara-negara berkembang yang memiliki sumberdaya hutan, yang
mengalami kesulitan menerapkan skenario A/R-CDM. Negosiasi baru itu
diberi nama REDD (Reduction emission from
Deforestation and Degradation in Developing
Countries). Pertemuan Bali
ini bukan membahas transaksi antar Negara tentang kredit karbon. Tulisan
ini berisi tentang latar belakang munculnya peraturan internasional tentang
perubahan iklim; keterkaitan UNFCCC, protocol kyoto
beserta mekanismenya; CDM sebagai salah satu mekanisme protocol kyoto;
serta konsep dan implementasi REDD.
B.
ERK, GRK dan Pemanasan Global
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh
kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil
(BBF) dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan tumpukan
gas-gas di atmosfer yang terus membesar jumlahnya. Jenis gas-gas tersebut
antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O). Gas-gas
tersebut memiliki sifat seperti kaca meneruskan radiasi gelombang pendek infra
merah (cahaya matahari), tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang
panjang, memberikan radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas,
sehingga suhu atmosfer bumi makin meningkat.
Jika bumi diliputi oleh gas-gas tersebut maka siapapun yang ada di bumi
bagaikan berada di dalam rumah kaca yang selalu lebih panas dari suhu udara di
luarnya. Oleh karena itu gas-gas itu disebut gas rumah kaca (GRK), dan pengaruh
yang ditimbulkannya dikenal dengan nama efek rumah kaca (ERK), yang selanjutnya
memberikan efek menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim (Murdiyarso,
2003c; IPCC, 2007).
Pemanasan global adalah
gejala naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca
(ERK). Dengan demikian sangat perlu dipahami apa yang dimaksud dengan ERK
tersebut. ERK adalah efek perubahan suhu di bumi pada kehidupan sebagai akibat
dari bertumpuknya GRK di atmosfer yang dihasilkan dari proses-proses
industrialisasi dan perubahan penggunaan lahan di permukaan bumi. (Soemarwoto,
1991; IPCC, 2007)). Banyak pihak sangat setuju dengan pengertian ERK tersebut,
tetapi perdebatan pro dan kontra terjadi pada kesepahaman apakah proses GRK dan
ERK sungguh-sungguh menimbulkan pemanasan global di permukaan bumi, masih terus
berlangsung sampai saat ini. Data terakhir menunjukkan bahwa emisi global ke
atmosfer dari CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6 pada periode 1990 – 2004 meningkat
signifikan sebesar 70%, dari 28,7 GtCO2
menjadi 49 GtCO2-eq (IPCC,2007).
Paling penting bagi
Indonesia adalah bagaimana mensikapi perdebatan pemanasan global tersebut, yang
akan berdampak pada iklim di Indonesia. Prediksi tersebut paling tidak dapat
dilakukan sampai tahun 2030 atau lebih. Dilihat dari berbagai bencana iklim
pada 20 tahun terakhir ini, maka Indonesia harus percaya bahwa perubahan iklim
sudah terjadi, waktu hujan yang sudah bergeser dari tahun ke tahun, kerusakan
hutan, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, produksi pertanian menurun,
kesehatan masyarakat terancam, dan lain-lain. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh British Meteorological Office (BMO) atas dasar simulasi sampai tahun
2030 akan terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,9 derajat Celcius.
Penelitian Warren Washington dan Gerald Meehl dari National Center of atmosfer,
menunjukkan bahwa dalam waktu 30 tahun ke depan akan terjadi kenaikan suhu bumi
sebesar 1,6 derajat celcius (Yogya Post, 1990).
Jika proses industrialisasi
terus berjalan, dan konversi penggunaan lahan dengan membuka hutan berlanjut,
maka dampak dari pemansan global akan sunguh-sungguh berlanjut di Indonesia.
Dampak pemanasan global bagi Indonesia adalah antara lain: (1) pulau-pulau di
pantai Indonesia akan tenggelam karena permukaan air laut meningkat; (2)
produksi pertanian akan menurun karena perubahan iklim; (3) satwa ikan akan
berpindah ke tempat lautan yang lebih kondusif suhunya; (4) jumlah hujan akan
meningkat di daerah tertentu, dan daerah lainnya akan kekurangan hujan, banjir
terjadi dimana-mana; (5) Frekuensi dan
intensitas badai dan topan meningkat; (6) banyak jenis flora dan fauna akan
punah; (7) kemiskinan akan bertambah; (8) muncul banyak penyakit pernafasan,
kulit akut; (9) stabilitas dan pertumbuhan ekonomi serta pendapatan masyarakat
terganggu; dan (10) stabilitas politik akan terganggu. Dampak tersebut
mengisyaratkan bahwa Indonesia harus bersiap diri untuk melakukan adaptasi dan
mitigasi (penanggulangan) bahaya efek rumah kaca dan pemanasan global tersebut.
C.
UNFCCC-- United Nations Framework Convention on
Climate Change
1. Apakah
Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC?
Konvensi
Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC -United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan
internasional tentang penanganan perubahan iklim. Kesepakatan yang biasa
disebut Konvensi Perubahan Iklim ini ditetapkan pada 1992 sebagai salah satu
hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini
terdiri dari 26 pasal dan dua lampiran atau Annex.
2.
Apa Tujuan Konvensi Perubahan Iklim?
Tujuan
UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang
tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2).
3.
Apa prinsip yang mendasari Konvensi
Perubahan Iklim?
Pasal
3 Konvensi Perubahan Iklim mencantumkan Prinsip-prinsip dasar, yaitu:
1.
Kesetaraan (Equity)
Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh semua
umat manusia, termasuk generasi mendatang.
2.
Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities)
Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam
tingkat yang berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena
sampai sekarang sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai
kemampuan paling besar untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi
tanggung jawab paling besar dalam menangani perubahan iklim.
3.
Tindakan kehati-hatian (Precautionary measure)
Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah
tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia
tidak bisa menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk
mencegah dampak pemanasan global lebih lanjut.
4.
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan,
namun dapat digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”.
Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan.
4.
Apa itu Negara Annex I dan Negara
Non-Annex I?
Negara-negara
yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
Negara Annex I dan Negara Non-Annex I.
Negara
Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan
manusia sejak revolusi industri tahun 1850- an, yaitu: Amerika Serikat,
Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark,
Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia,
Inggris, Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania,
Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia
Baru, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan
Yunani.
Sedangkan
Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I –
Indonesia di dalamnya, yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta
memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah.
Selain
itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara maju yang diwajibkan
menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi yang dikeluarkan
negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).
5.
Kapan Konvensi Perubahan Iklim mulai
berlaku?
Konvensi
Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi 50
negara. Hingga Agustus 2007 Konvensi tersebut telah diratifikasi 195 negara dan
Masyarakat Uni Eropa (European Union Community). Negara-negara yang telah
meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak atau Parties, dan terikat secara hukum
pada ketentuan dalam Konvensi.
6.
Bagaimana Cara Kerja Konvensi
Perubahan Iklim?
Untuk
menjalankan kegiatan, UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi
yaitu Pertemuan Para Pihak (COP -- Conference
of the Parties) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun, atau ketika
dibutuhkan.
Fungsi dari Pertemuan Para Pihak adalah:
·
Mengkaji pelaksanaan Konvensi
·
Memantau pelaksanaan kewajiban
para Pihak sesuai tujuan Konvensi
·
Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi
·
Membuat rekomendasi kepada Para Pihak
·
Mendirikan badan-badan
pendukung jika dipandang perlu.
Selain itu, dibentuk dua badan pendukung yaitu Badan
Pendukung Untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan
Pendukung Untuk Pelaksanaan (SBI - Subsidiary
Body for Implementation). Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua
kali setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi
ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI
membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.
D.
Protocol Kyoto
1. Apa
itu Protokol Kyoto?
Protokol
Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan
Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate
Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara
maju, secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada
Konferensi Para Pihak Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada
Desember 1997 Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi
Perubahan Iklim. Jadi protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh
negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012.
2.
Apa perbedaan Protokol Kyoto dengan
Konvensi Perubahan Iklim?
Konvensi
adalah seperti Undang-undang dan Protokol adalah penjabaran langkah-langkah
lebih rinci dan spesifik untuk mencapai tujuan dari undang-undang layaknya
sebuah peraturan pemerintah.
Jadi
Protocol Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan
Iklim. Negara yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk
melaksanakan ketentuan di dalamnya.
3.
Apa yang diatur Protokol Kyoto?
Protokol
Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan
emisi GRK akibat kegiatan manusia,mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta
prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK
yang diatur protokol yaitu : karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen
oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur
heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses
industri, pertanian dan pengolahan limbah.
Negara
berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara
sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan
lebih ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih
teknologi dan menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang
ramah iklim.
4.
Apa Saja Mekanisme Protokol Kyoto?
Protokol
Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus
mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara
lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap)
GRK, teknologi yang ramah iklim dsb. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi
sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel,
yakni:
1. Implementasi
Bersama (Joint Implementation);
Yaitu
mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan
pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat
kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat dilaksanakan
dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut
hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional
untuk memenuhi target pengurangan emisi.
Konsep
yang mendasari mekanisme Kyoto ini adalah teori ekonomi klasik yaitu dengan input yang sekecil mungkin diharapkan
akan memperoleh output yang sebesar
mungkin, karena itu JI akan mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang
paling menguntungkan bagi yang menanamkan modalnya.kegiatan JI akan didanai
oleh sektor swasta untuk menghasilakn ERU(Emission
Reduction Unit).
Pada
awalnya perundingan tentang JI menimbulkan perdebatan yang sengit mengenai
kemungkinan dimasukkannya negara berkembang dalam mekanisme ini. Negara-negara
anggota OPEC menolak dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari kemungkinan
menandatangani Protocol Kyoto. India dan Cina mengharapkan kekompakan G77+Cina
dan akhirnya memutuskan bahwa negara berkembang tidak akan ikut dalam JI
dibawah Protocol Kyoto. Dalam konsultasi internal dikemukakan
4 alasan mengapa negara berkembang harus menolak JI :
·
Biaya transaksi yang tinggi,
sehingga mengurangi keuntungan negara berkembang.
·
Tidak jelasnya penentuan garis
awal sebelum proyek dilaksanakan dan kemungkinan adanya kebocoran (leakage) yang mendorong terjadinya
kolusi antara kedua belah pihak.
·
Isu kesetaraan yang sulit dipertahankan karena negara maju akan
mengubah strateginya jika biaya proyek JI sudah terlalu mahal, sementara negara
berkembang belum siap memasuki industri rendah emisi yang teknologinya belum
dikuasai.
·
Menurut pandangan G77+Cina, JI
adalah bentuk neokolonialisme yang harus ditolak karena negara-negara maju akan
memiliki posisi tawar yang makin kuat karena kemampuan teknologinya semakin
baik, sementara emisinya dibayar dengan murah di negara berkembang.
Menjelang pelaksanaan CoP3 di Kyoto awal desember 1997
dalam pertemuan AGBM8 akhirnya di sepakati bahwa Ji hanya diselenggarakan di
antara para pihak yang termasuk Annex I. Segera setelah Protocol Kyoto
diadopsi, Pemerintah Jepang dan Rusia menyetujui studi kelayakan proyek JI yang
akan memodernkan 20 pembangkit listrik dan pabrik-pabrik di Rusia. Untuk studi
kelayakannya saja pemerintah Jepang menyediakan dana US$ 20 juta. Hal ini
dilakukan Jepang karena pembangkit di Rusia 3-7 kali kurang efisien dibandigkan
denga negara-negara OECD(Organization of
Economic C0-operation and Development), sementara Jepang memiliki target
penurunan emisi sebesar 6% pada periode pertama.
2. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism--CDM)
Negara-negara
maju yang berkomitmen untuk membatasi atau menurunkan emisi diperbolehkan oleh
Protokol Kyoto untuk bekerjasama dengan negara lain, termasuk dengan negara
berkembang. Antar negara-negara maju,
mekanisme kerjasama ini terjadi melalui Emissions Trading (ET) atau Joint
Implementation (JI). Antara negara maju
dan negara berkembang, melalui Clean Development Mechanism (CDM). Negara-negara maju yang harus membatasi atau
menurunkan emisinya harus mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga
secara generik sebagai kredit karbon atau carbon credits. Untuk CDM, kredit karbon ini disebut
Certified Emissions Reduction, CER.
Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui perdagangan,
dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan
pasokan dari sertifikasi itu. Mekanisme
kerjasama ini melahirkan sebuah pasar yang biasa disebut sebagai “pasar karbon”
(carbon market).
Tatakelola
CDM di tingkat internasional dikendalikan oleh CDM Executive Board (EB) yang
beranggotakan 10 anggota tetap dan 10 anggota alternate. EB dibantu oleh lima panel teknis, yaitu
Panel Metodologi, Panel Proyek Skala Kecil, Panel Akreditasi, Panel Penerbitan
Sertifikasi, dan Panel Land Use dan Kehutanan.
EB juga dibantu oleh dua Designated Operational Entity (DOE) dari pihak
swasta, yaitu satu untuk memvalidasi dokumentasi desain proyek (Project Design
Document), dan satu untuk memverifikasi terjadinya penurunan emisi.
Entitas
publik atau swasta di negara berkembang dapat dengan sukarela menurunkan emisi
melalui proyek CDM. Penurunan emisi ini
diukur dari sebuah “baseline” (tingkat emisi hipotetis jika proyek CDM tersebut
tidak ada) dan sertifikasi dari penurunannya dapat dijual kepada entitas publik
atau swasta di negara maju untuk diklaim oleh entitas tersebut sebagai
pemenuhan kewajiban penurunan emisinya.
Pertumbuhan
pasar CDM sangatlah pesat. Tahun 2008
lalu diperkirakan bernilai $20 miliar.
Tahun 2007 $12 miliar, naik dua kali lipat dari $6 miliar pada 2006. Diperkirakan pada 2012 pasar CDM akan
meningkat hingga $60 miliar per tahun.
Permintaan sertifikasi penurunan emisi sekitar 3.5 miliar ton pada
perioda komitmen pertama 2008 – 2012.
Proyek-proyek yang telah terdaftar pada EB berpotensi untuk menghasilkan
sekitar 1.5 miliar ton, dengan proyek yang sedang dalam proses pendaftaran
menyumbang sekitar 1 miliar ton lagi hingga 2012. CERs yang telah diterbitkan oleh EB baru
sekitar 200 juta ton.
Clean
Development Mechanism (CDM) adalah satu-satunya mekanisme di bawah Protokol
Kyoto yang memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk ikut
serta. Protokol Kyoto (Pasal 12)
mendefinisikan dua sisi mata uang tujuan CDM ini, yaitu:
… to assist Parties not included in Annex I
in achieving sustainable development and in contributing to the ultimate
objective of the Convention, and to assist Parties included in Annex I in
achieving compliance with their quantified emission limitation and reduction
commitments under Article 3.
Interpretasi
dari dua sisi tujuan CDM ini adalah bahwa untuk negara berkembang (negara yang
tidak terdaftar dalam Annex I) mencapai pembangunan berkelanjutan dan
bersumbangsih dalam pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim. Untuk negara industri (negara “Annex I”),
mencapai ketaatan (compliance) pada komitmen terkuantifikasi mereka untuk
membatasi dan menurunkan emisi sesuai dengan Pasal 3 Protokol Kyoto.
Prosedur
pelaksanaan CDM
Setelah
ERPA ditandatangani, dan proyek dianggap layak untuk dikembangkan, maka tahap
pertama dalam pengembangan proyek CDM adalah pembuatan Project Design Document
(PDD), yaitu sebuah dokumen yang menggambarkan proyek CDM itu dengan
detail. Proyek CDM harus benar-benar
menghasilkan penurunan emisi yang terukur dan dengan manfaat jangka panjang.
Pasal
12, paragraf 5 dari Protokol Kyoto menyebutkan bahwa penurunan emisi harus
berdasarkan pada partisipasi sukarela dari para pihak yang terlibat, manfaat
yang sebenarnya, terukur, dan jangka-panjang dalam kaitannya dengan mitigasi
perubahan iklim. Penurunan emisi ini harus
additional (tambahan) dari emisi yang bakal terjadi jika kegiatan proyek CDM
ini tidak dilakukan.
Artinya,
harus dibuktikan bahwa penurunan emisi ini tidak akan terjadi tanpa adanya
proyek CDM ini. Additionality ini adalah
sebuah konsep mutlak yang harus dibuktikan oleh semua proyek CDM dalam
PDDnya. Hampir semua proyek yang
ditolak oleh EB adalah mereka yang tidak dapat membuktikan additionality. Proses validasi ini bisa berlangsung lama —
bahkan ada yang lebih dari satu tahun.
Setelah validasi, sebuah konsultasi publik harus dilakukan di tempat
proyek itu dikembangkan.
Komentar-komentar masyarakat terhadap proyek CDM itu harus
didokumentasikan bersama-sama dengan rencana pengembang proyek untuk meresponsnya. Akhirnya, proyek ini harus mendapatkan
persetujuan dari Designated National Authority (DNA).
Setelah
itu, proyek ini akan didaftarkan pada EB untuk diakui sebagai sebuah proyek
CDM. Pendaftaran dilakukan dengan
mengajukan PDD yang telah final berikut laporan validasi, surat persetujuan dari
DNA, serta dokumentasi konsultasi publik.
Dibantu oleh Sekretariat, panel-panel, serta reviewers, EB akan
mengevaluasi dokumentasi ini untuk menyetujui, menyetujui dengan syarat,
meminta review, atau menolaknya sebagai proyek CDM.
Sesudah
proyek ini terdaftar, maka penghitungan penurunan emisi dapat dimulai. Pada tahap ini, peran monitoring sangatlah
penting. Semua harus terukur dengan alat
ukur yang presisi dan terkalibrasi dengan baik dan teratur. Hasilnya pun harus terdokumentasikan dengan
baik. Hasil monitoring inilah yang akan
diperiksa oleh DOE untuk memverifikasi penurunan emisinya, dan berdasarkan
laporan verifikasi itu, sertifikasi penurunan emisi dapat diterbitkan oleh EB.
Tata
Kelola CDM--Executive Board
Tatakelola
CDM di tingkat internasional dikendalikan oleh CDM Executive Board (EB) yang
beranggotakan 10 anggota tetap dan 10 anggota alternatif. EB dibantu oleh lima panel teknis, yaitu
Panel Metodologi, Panel Proyek Skala Kecil, Panel Akreditasi, Panel Penerbitan
Sertifikasi, dan Panel Land Use dan Kehutanan.
EB juga dibantu oleh dua Designated Operational Entity (DOE) dari pihak
swasta, yaitu satu untuk memvalidasi dokumentasi desain proyek (Project Design
Document), dan satu untuk memverifikasi terjadinya penurunan emisi.
EB
akan menentukan apakah sebuah proyek layak didaftarkan sebagai proyek CDM atau
tidak. Keputusan EB adalah final dan
tidak dapat diganggu gugat. Untuk
mengambil keputusan-keputusan penting mengenai proyek CDM, EB bertemu tujuh –
delapan kali setahun.
3. Perdagangan Emisi (Emission Trading);
Ini
adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara
industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya
di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri
lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Skema ini selanjutnya dikenal
dengan nama perdagangan emisi (Emission
Trading,ET) dengan komoditas berupa unit jatah emisi (Assigned Amount Unit,AAU). Namun demikian, jumlah emisi GRK yang
diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi harus tetap memenuhi
kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protocol Kyoto. ET harus
diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domestik tersebut. Hal ini diatur
dalam Pasal 17 Protocol Kyoto.
Pasal-pasal Protocol Kyoto yang terkait dengan implementasi ET adalah:
·
Pasal 3.10, yang menetapkan bahwa ERU yang diperoleh
dari JI atau sebagian jatah emisi dapat ditambahkan kepada suatu pihak apabila
pihak tersebut mendapatkannya dari pihak lain sesuai dengan pasal 6 dan 17.
·
Pasal 3.11, yang menetapkan bahwa ERU yang diperoleh
dari JI atau sebagian jatah emisi dapat dikurangkan dari suatu pihak apabila
pihak tersebut mengalihkannya kepada pihak lain sesuai dengan pasal 6 dan 17.
·
Pasal 17, yang menetapkan bahwa negara-negara yang
dapat terlibat dalam ET adalah para pihak yang termasuk dalam Annex B yang
terdiri dari OECD, negara-negara Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet.
5. Kapan
Protokol Kyoto mulai berlaku?
Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:
1.
Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55
negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
2.
Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang
meratifikasi protokol minimum 55% dari total emisi mereka pada 1990. Pada 23
Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol
tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan
menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%. Ini berarti
semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari
setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.
6. Kenapa
Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto?
Pemerintah
AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol kyoto karena khawatir akan mengganggu
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak
sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi
penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan
menurunkan emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak
pincang” karena usulan mekanisme fleksibilitas terutama tentang perdagangan
emisi justru berasal dai AS.
7.
Apakah Protokol Kyoto bisa memenuhi
target?
Banyak
pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol
Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena
jumlah negara maju yang meratifikasi belum memenuhi
persyaratan. Saat ini 109 negara sudah meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara
maju yang terdapat di dalamnya baru mencapai 43%. Padahal, baru dapat dikatakan
efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam salah satu pertemuan di
PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat dua kali lipat
dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992. Alasan
utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini
sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya
adalah bagian dari tawarmenawar yang lebih luas antara negaranegara kaya dan
negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan
persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994). Mekanisme
fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak melaksanakan
langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru menggunakan instrumen
pasar dan membuat persoalan penting ini menjadi komoditi di pasar
internasional.
8.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Indonesia
telah meratifikasi kedua kesepakatan iklim melalui Undang- Undang No. 6/1994
tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change
(Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)
dan Undang- Undang No 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United
Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Setelah
meratifikasi, pemerintah Indonesia kemudian menyusun Rencana Aksi Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Tetapi seperti banyak UU lain di
Indonesia, pelaksanaan kedua UU ini juga lemah.
E.
REDD+ --
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
Konferensi Para
Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007
menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau
peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto.
Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan
besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi
perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain
yang menyertainya.
Termasuk di
dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang
disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan
memperjelas hak kepemilikan lahan. Perjanjian Kopenhagen secara terbuka
menyebutkan REDD-plus sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan
di bawah perjanjian pasca Kyoto.
1.
Apakah REDD?
Upaya mitigasi harus
mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di
negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon
untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian,
untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan
pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan
yang dimaksud adalah REDD,
kependekan dari Reducing Emissions From
Deforestation And Forest Degradation (pengurangan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan
sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi
yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
2.
Bagaimana
cara
kerja REDD?
Pengurangan emisi atau
‘deforestasi yang dihindari’ diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit
karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon internasional.
Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan
yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta
yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan
untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya
yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya
pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti
padang penggembalaan ternak, lahan pertanian dan perkebunan.
3. Apakah REDD+?
Satu tahun setelah Rencana
Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali
di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD
sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua
hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara berkembang.
Dua ketetapan awal REDD adalah:
•
mengurangi emisi dari deforestasi dan
•
mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang
ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:
•
peranan konservasi
•
pengelolaan hutan secara lestari
•
peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas
ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak
dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan
datang.
4.
Siapakah yang menperoleh keuntungan dari REDD+?
Ketika REDD pertama kali
dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh
negara-negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki
potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan
dan untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya.
Di bawah skema REDD-plus
yang lebih luas, negara-negara yang secara efektif sudah melindungi hutannya
juga dapat memperoleh keuntungan. Praktek yang diterapkan secara
berkelanjutan yang dapat membantu masyarakat miskin. Contohnya perusahaan kayu
yang memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk dapat memanfaatkan hutan,
juga akan diakui dan diberi penghargaan. Inisiatif penghijauan di kawasan hutan
yang gundul dan terdegradasi juga akan dipertimbangkan. Jika REDD-plus dibawa ke
meja perundingan, akan lebih banyak negara yang mendukung atau meratifikasi kesepakatan
di masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, REDD-plus memerlukan kerangka
kerja yang lebih rumit untuk mengakomodasikan seluruh kategori dan dapat menyebabkan
terjadinya biaya transaksi dan implementasi yang lebih besar.
5.
Berapakah
biaya REDD+? Darimanakah sumber pendanaanya?
Menurut Stern Review on the Economics of Climate Change, dana yang dibutuhkan untuk memotong hingga setengah emisi dari sektor hutan sampai dengan tahun 2030 dapat berkisar antara $17 milyar dan $33 milyar per tahun.
Menurut Stern Review on the Economics of Climate Change, dana yang dibutuhkan untuk memotong hingga setengah emisi dari sektor hutan sampai dengan tahun 2030 dapat berkisar antara $17 milyar dan $33 milyar per tahun.
Uang
dapat secara langsung berasal dari skema pendanaan internasional atau program
pemerintah nasional. Sebagian dana sudah tersedia bagi proyek percontohan REDD
melalui pasar karbon secara sukarela, namun sebagian besar uang yang akan
disalurkan melalui pasar atau dana baru sebagai hasil negosiasi UNFCCC belum
akan tersedia dalam beberapa tahun mendatang.
6. Bagaimanakan proses kebijakan tentang REDD di
Indonesia?
Proses penentuan kebijakan
yang terkait dengan REDD di Indonesia didominasi oleh
pendekatan dari-atas-ke-bawah (top-down). Hal ini dapat
dimengerti mengingat
sebagian besar delegasi dalam Konferensi Para Pihak
adalah pegawai pemerintah
(pusat). Merekalah yang memperoleh informasi
pertama dan mereka pulalah
yang diberi wewenang oleh Konvensi Perubahan Iklim dalam menentukan posisi di
meja perundingan dan pelaksanaan kegiatan REDD di kemudian hari.
Diawali dengan pembentukan Indonesian
Forest-Climate Alliance (IFCA), pemerintah mengundang partisipasi berbagai
pihak untuk mencermati rancang bangun REDD. Kelompok ini kemudian merumuskan
perlunya kerangka kebijakan yang terkait dengan: (i) penentuan tingkat emisi
acuan, (ii) strategi penggunaan lahan, (iii) pemantauan, (iv) mekanisme
keuangan dan (v) pembagian keuntungan dan tanggung jawab.
Untuk mematangkan proses
kebijakan yang akan ditempuh, Pemerintah
selanjutnya mengusulkan rancangan
kesiapan (Readiness Plan, R-Plan) kepada Bank Dunia untuk menunjang
pelaksanaan REDD di Indonesia. Selain
kelima komponen di atas, di
dalam R-Plan juga diuraikan rencana penilaian
dampak REDD terhadap
kondisi sosial dan lingkungan serta investasi untuk
pengembangan kapasitas.
Bersamaan dengan ini, usulan lain juga diajukan
kepada UN-REDD, sebuah
program kolaborasi badan-badan PBB (FAO, UNEP dan UNDP), khususnya yang
menyangkut kerjasama lintas sektor di Indonesia.
Sementara itu kalangan
masyarakat madani (civil society) dan pemangku
kepentingan (stakeholders)
di luar pemerintah lebih banyak bersikap menunggu atau memberi respons terhadap
ajakan pihak ketiga, termasuk dari masyarakat madani dan investor dari luar
negeri. Berbagai kegiatan uji coba (demonstration activities) sudah
dilakukan di beberapa daerah. Konsultasi publik juga telah dilakukan dengan
dukungan yang terbatas dari Pemerintah Daerah yang belum sepenuhnya memahami
proses REDD. Oleh karena itu dalam fase persiapan ini pemerintah akan banyak
berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk dapat memposisikan mereka
dalam kebijakan REDD secara utuh baik pada tingkat nasional maupun sub nasional
(tingkat daerah).
7.
Perangkat hukum pelaksanaan REDD di Indonesia
Sejak penyelenggaraan COP13
di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan sangat giat
mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan
pelaksanaan REDD. Di antara perangkat tersebut terdapat tiga
Peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu:
1.
Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang
Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf)
2.
Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata
Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf)
3.
Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata
Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/ P36_09.pdf)
Dengan adanya
peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah
dapat dilaksanakan.
Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang
pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga
mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait.
Reference
Daniel
Murdiyarso, 2003, Protocol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara berkembang, Jakarta:Kompas
Daniel
Murdiyarso, 2003, CDM:Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta:Kompas
http://unfccc.int/ kyoto
protocol
Kementrian Lingkungan
Hidup, JICA, Pelangi. 2004. Bumi Makin Panas : Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta
Lembar Informasi No.1
“tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim”
Lembar Informasi No. 2
” Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami Peraturan Internasional tentang
Perubahan Iklim”
Lembar
Informasi No. 3 ”Berubah atau Diubah: Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup
di Bumi”
Lembar Informasi No. 4
”Nyepi (Hening) untuk Bumi: Pesan Kearifan dari Bali untuk Mengurangi Emisi Gas
Rumah Kaca”
HELLO TO PERHATIAN ANDA
ReplyDeleteAku mengutus kamu kesaksian ini menyusul layanan yang diberikan oleh saya
wanita ini ketika saya sedang mencari untuk pinjaman
uang.Anda yang mencari untuk pinjaman uang, saya tidak tahu
bagaimana Anda berbagi sukacita saya karena menjadi diriku sendiri
Penelitian pinjaman, saya datang di seorang wanita bernama NICOLE MIREUR seorang wanita bisnis Perancis. Dia
diberikan pinjaman 25.000 euro dan saya berbicara dengan beberapa rekan
yang juga menerima pinjaman dari wanita ini tanpa
memiliki kekhawatiran. Terutama bagi saya, saya menerima permintaan saya
Protokol tidak ada kredit dan saya cukup puas. The
Alasan mengapa saya mempublikasikan posting ini di halaman dan yang
Wanita masih terus melakukan keajaiban untuk
orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Jadi saya memutuskan untuk berbagi
kesempatan ini untuk Anda yang tidak memiliki budi
bank atau telah harus berurusan dengan pemberi pinjaman yang tidak bermoral
melakukan menyalahgunakan kepribadian orang lain; Anda memiliki
pembiayaan proyek atau kebutuhan, Anda dapat menulis dan
menjelaskan situasi Anda; itu akan membantu Anda jika
kejujuran Anda yakin email mereka: delormerolande@yahoo.fr