Thursday, January 26, 2012

Hukum Lingkungan: dari Stockholm hingga Protocol Kyoto

A.    Pendahuluan
Sepanjang yang kita pahami, manusia sesungguhnya mendiami dua dunia. Dunia pertama adalah dunia alamiah tumbuhan dan hewan, tanah air dan udara, yang telah beribu-ribu juta tahun mendahului adanya manusia yang merupakan bagian dari padanya. Dunia kedua adalah dunia pranata sosial dan artefak, yang diciptakannya untuk dirinya sendiri dengan mempergunakan alat dan mesin, ilmu pengetahuan dan impiannya untuk membentuk suatu lingkungan hidup yang tunduk setia pada tujuan dan arah yang ditetapkannya. Dalam dunia seperti itulah manusia telah memainkan peran, fungsi dan tugas-tugas yang pada akhirnya menghasilkan perubahan dengan segala kompleksitas dampaknya, baik positif maupun negatif pada alam dan lingkungan hidup organisme.
  Ilmu pengetahuan telah berhasil menemukan banyak hal yang mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan manusia, terutama sekali setelah revolusi industri. Teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa bagi ummat manusia telah berhasil memenuhi kebutuhan perdagangan, ekonomi, dan mendorong terbentuknya pasar bebas. Penggunaan teknologi tinggi dalam industri di satu sisi memang mampu memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar dan cepat. Tetapi pada sisi yang lain teknologi juga sangat boros dengan penggunaan bahan baku yang bersifat alami, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Teknologi sebagai hasil dari revolusi industri telah menghasilkan pencemaran di udara karena penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas). 
   Ada tiga bagian planet bumi yang penting yaitu udara, air dan tanah. Atmosfir yang meliputi udara dan cuaca, hidrosfer yang meliputi sungai, danau dan lautan, dan litosfer dimana batuan yang hancur selama beribu-ribu tahun memberi manusia lapisan tanah yang tipis dan rentan. Ketiga lapisan bumi ini kait mengkait sangat erat di dalam semua sistem yang mendukung kehidupan  organisme. Tanpa ketiganya maka biosfer dimana manusia hidup tidak akan ada artinya. Penjelasan ini seharusnya memberikan penyadaran kepada manusia bahwa sudah sangat jelas keterkaitan dan saling keterikatan antara udara, air dan tanah, harus terus ada seumur dunia ini. Apabila salah satu diantara udara, air dan tanah dipergunakan secara destrukif (merusak), maka akan memberikan dampak bahaya yang besar bagi kehidupan (Ward and Dubos, 1974). 
Penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan, konversi dan penggunaan lahan tidak bertanggung jawab, telah menimbulkan emisi karbon ke atmosfer yang berlebihan dan menybebabkan tragedi efek  gas rumah kaca (Greenhouses gases effect), dapat dijadikan contoh dari pernyataan Ward dan Dubos tersebut. Efek Gas Rumah Kaca (ERK) memproduksi perubahan iklim yang akan berdampak pada seluruh eksistensi dan keberlanjutan kehidupan manusia dan bio fisik alam. Emisi karbon dari bahan bakar fosil menurut sektor adalah: transportasi (20%), industri (17%), rumah tangga dan perdagangan (14%),pembangkit listrik (40%), dan lainnya 8% (Firdaus, 2007).
Perhelatan dunia tentang konferensi multi pihak ke 13 (COP 13) di Bali, dilaksanakan oleh United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (bagian dari kerja PBB untuk lingkungan hidup). Kesepakatan Protokol Kyoto melalui COP 3 tahun 1997, adalah memberikan dasar bagi negara-negara industri penghasil emisi polutan di atmosfer agar mengurangi emisi GRK gabungan. Protokol Kyoto juga menghasilkan 3 skenario mekanisme kredit karbon seperti Joint Implementation (JI), Emission trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM, untuk negara berkembang)3. COP 13 Bali merupakan arena ”negosiasi” implementasi Protokol Kyoto, dan negosiasi usulan baru dari negara-negara berkembang yang memiliki sumberdaya hutan, yang mengalami kesulitan menerapkan skenario A/R-CDM. Negosiasi baru itu diberi nama REDD (Reduction emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries). Pertemuan Bali ini bukan membahas transaksi antar Negara tentang kredit karbon. Tulisan ini berisi tentang latar belakang munculnya peraturan internasional tentang perubahan iklim; keterkaitan UNFCCC, protocol kyoto beserta mekanismenya; CDM sebagai salah satu mekanisme protocol kyoto; serta konsep dan implementasi REDD.

B.    ERK, GRK dan Pemanasan Global
Perubahan  iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan tumpukan gas-gas di atmosfer yang terus membesar jumlahnya. Jenis gas-gas tersebut antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca meneruskan radiasi gelombang pendek infra merah (cahaya matahari), tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang, memberikan radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfer bumi makin meningkat.  Jika bumi diliputi oleh gas-gas tersebut maka siapapun yang ada di bumi bagaikan berada di dalam rumah kaca yang selalu lebih panas dari suhu udara di luarnya. Oleh karena itu gas-gas itu disebut gas rumah kaca (GRK), dan pengaruh yang ditimbulkannya dikenal dengan nama efek rumah kaca (ERK), yang selanjutnya memberikan efek menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim (Murdiyarso, 2003c; IPCC, 2007).
Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK). Dengan demikian sangat perlu dipahami apa yang dimaksud dengan ERK tersebut. ERK adalah efek perubahan suhu di bumi pada kehidupan sebagai akibat dari bertumpuknya GRK di atmosfer yang dihasilkan dari proses-proses industrialisasi dan perubahan penggunaan lahan di permukaan bumi. (Soemarwoto, 1991; IPCC, 2007)). Banyak pihak sangat setuju dengan pengertian ERK tersebut, tetapi perdebatan pro dan kontra terjadi pada kesepahaman apakah proses GRK dan ERK sungguh-sungguh menimbulkan pemanasan global di permukaan bumi, masih terus berlangsung sampai saat ini. Data terakhir menunjukkan bahwa emisi global ke atmosfer dari CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6 pada periode 1990 – 2004 meningkat signifikan sebesar 70%, dari 28,7 GtCO2  menjadi 49 GtCO2-eq (IPCC,2007).
Paling penting bagi Indonesia adalah bagaimana mensikapi perdebatan pemanasan global tersebut, yang akan berdampak pada iklim di Indonesia. Prediksi tersebut paling tidak dapat dilakukan sampai tahun 2030 atau lebih. Dilihat dari berbagai bencana iklim pada 20 tahun terakhir ini, maka Indonesia harus percaya bahwa perubahan iklim sudah terjadi, waktu hujan yang sudah bergeser dari tahun ke tahun, kerusakan hutan, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, produksi pertanian menurun, kesehatan masyarakat terancam, dan lain-lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh British Meteorological Office (BMO) atas dasar simulasi sampai tahun 2030 akan terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,9 derajat Celcius. Penelitian Warren Washington dan Gerald Meehl dari National Center of atmosfer, menunjukkan bahwa dalam waktu 30 tahun ke depan akan terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,6 derajat celcius (Yogya Post, 1990).
Jika proses industrialisasi terus berjalan, dan konversi penggunaan lahan dengan membuka hutan berlanjut, maka dampak dari pemansan global akan sunguh-sungguh berlanjut di Indonesia. Dampak pemanasan global bagi Indonesia adalah antara lain: (1) pulau-pulau di pantai Indonesia akan tenggelam karena permukaan air laut meningkat; (2) produksi pertanian akan menurun karena perubahan iklim; (3) satwa ikan akan berpindah ke tempat lautan yang lebih kondusif suhunya; (4) jumlah hujan akan meningkat di daerah tertentu, dan daerah lainnya akan kekurangan hujan, banjir terjadi dimana-mana; (5)  Frekuensi dan intensitas badai dan topan meningkat; (6) banyak jenis flora dan fauna akan punah; (7) kemiskinan akan bertambah; (8) muncul banyak penyakit pernafasan, kulit akut; (9) stabilitas dan pertumbuhan ekonomi serta pendapatan masyarakat terganggu; dan (10) stabilitas politik akan terganggu. Dampak tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia harus bersiap diri untuk melakukan adaptasi dan mitigasi (penanggulangan) bahaya efek rumah kaca  dan pemanasan global tersebut.

C.    UNFCCC-- United Nations Framework Convention on Climate Change
1.     Apakah Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC?
Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC -United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan internasional tentang penanganan perubahan iklim. Kesepakatan yang biasa disebut Konvensi Perubahan Iklim ini ditetapkan pada 1992 sebagai salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini terdiri dari 26 pasal dan dua lampiran atau Annex.
2.     Apa Tujuan Konvensi Perubahan Iklim?
Tujuan UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2).
3.     Apa prinsip yang mendasari Konvensi Perubahan Iklim?
Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim mencantumkan Prinsip-prinsip dasar, yaitu:


1.     Kesetaraan (Equity)
Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.
2.     Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities)
Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab paling besar dalam menangani perubahan iklim.
3.     Tindakan kehati-hatian (Precautionary measure)
Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah dampak pemanasan global lebih lanjut.
4.     Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan, namun dapat digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”. Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
4.     Apa itu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I?
Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I.
Negara Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850- an, yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris, Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani.
Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I – Indonesia di dalamnya, yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah.
Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).


5.     Kapan Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku?
Konvensi Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi 50 negara. Hingga Agustus 2007 Konvensi tersebut telah diratifikasi 195 negara dan Masyarakat Uni Eropa (European Union Community). Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.
6.     Bagaimana Cara Kerja Konvensi Perubahan Iklim?
Untuk menjalankan kegiatan, UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (COP -- Conference of the Parties) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun, atau ketika dibutuhkan.
Fungsi dari Pertemuan Para Pihak adalah:
·        Mengkaji pelaksanaan Konvensi
·        Memantau pelaksanaan kewajiban para Pihak sesuai tujuan Konvensi
·        Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi
·        Membuat rekomendasi kepada Para Pihak
·        Mendirikan badan-badan pendukung jika dipandang perlu.
Selain itu, dibentuk dua badan pendukung yaitu Badan Pendukung Untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan Pendukung Untuk Pelaksanaan (SBI - Subsidiary Body for Implementation). Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua kali setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

D.    Protocol Kyoto
1.     Apa itu Protokol Kyoto?
Protokol Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara maju, secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada Konferensi Para Pihak Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada Desember 1997 Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Jadi protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012.
2.     Apa perbedaan Protokol Kyoto dengan Konvensi Perubahan Iklim?
Konvensi adalah seperti Undang-undang dan Protokol adalah penjabaran langkah-langkah lebih rinci dan spesifik untuk mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah.
Jadi Protocol Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan di dalamnya.
3.     Apa yang diatur Protokol Kyoto?
Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia,mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang diatur protokol yaitu : karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan limbah.
Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan lebih ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.
4.     Apa Saja Mekanisme Protokol Kyoto?
Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi yang ramah iklim dsb. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:
1.     Implementasi Bersama (Joint Implementation);
Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi.
Konsep yang mendasari mekanisme Kyoto ini adalah teori ekonomi klasik yaitu dengan input yang sekecil mungkin diharapkan akan memperoleh output yang sebesar mungkin, karena itu JI akan mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan bagi yang menanamkan modalnya.kegiatan JI akan didanai oleh sektor swasta untuk menghasilakn ERU(Emission Reduction Unit).
Pada awalnya perundingan tentang JI menimbulkan perdebatan yang sengit mengenai kemungkinan dimasukkannya negara berkembang dalam mekanisme ini. Negara-negara anggota OPEC menolak dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari kemungkinan menandatangani Protocol Kyoto. India dan Cina mengharapkan kekompakan G77+Cina dan akhirnya memutuskan bahwa negara berkembang tidak akan ikut dalam JI dibawah Protocol Kyoto. Dalam konsultasi internal dikemukakan 4 alasan mengapa negara berkembang harus menolak JI :
·        Biaya transaksi yang tinggi, sehingga mengurangi keuntungan negara berkembang.
·        Tidak jelasnya penentuan garis awal sebelum proyek dilaksanakan dan kemungkinan adanya kebocoran (leakage) yang mendorong terjadinya kolusi antara kedua belah pihak.
·        Isu kesetaraan yang sulit  dipertahankan karena negara maju akan mengubah strateginya jika biaya proyek JI sudah terlalu mahal, sementara negara berkembang belum siap memasuki industri rendah emisi yang teknologinya belum dikuasai.
·        Menurut pandangan G77+Cina, JI adalah bentuk neokolonialisme yang harus ditolak karena negara-negara maju akan memiliki posisi tawar yang makin kuat karena kemampuan teknologinya semakin baik, sementara emisinya dibayar dengan murah di negara berkembang.
Menjelang pelaksanaan CoP3 di Kyoto awal desember 1997 dalam pertemuan AGBM8 akhirnya di sepakati bahwa Ji hanya diselenggarakan di antara para pihak yang termasuk Annex I. Segera setelah Protocol Kyoto diadopsi, Pemerintah Jepang dan Rusia menyetujui studi kelayakan proyek JI yang akan memodernkan 20 pembangkit listrik dan pabrik-pabrik di Rusia. Untuk studi kelayakannya saja pemerintah Jepang menyediakan dana US$ 20 juta. Hal ini dilakukan Jepang karena pembangkit di Rusia 3-7 kali kurang efisien dibandigkan denga negara-negara OECD(Organization of Economic C0-operation and Development), sementara Jepang memiliki target penurunan emisi sebesar 6% pada periode pertama.
2.  Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism--CDM)
Negara-negara maju yang berkomitmen untuk membatasi atau menurunkan emisi diperbolehkan oleh Protokol Kyoto untuk bekerjasama dengan negara lain, termasuk dengan negara berkembang.  Antar negara-negara maju, mekanisme kerjasama ini terjadi melalui Emissions Trading (ET) atau Joint Implementation (JI).  Antara negara maju dan negara berkembang, melalui Clean Development Mechanism (CDM).  Negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan emisinya harus mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga secara generik sebagai kredit karbon atau carbon credits.  Untuk CDM, kredit karbon ini disebut Certified Emissions Reduction, CER.  Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu.  Mekanisme kerjasama ini melahirkan sebuah pasar yang biasa disebut sebagai “pasar karbon” (carbon market).
Tatakelola CDM di tingkat internasional dikendalikan oleh CDM Executive Board (EB) yang beranggotakan 10 anggota tetap dan 10 anggota alternate.  EB dibantu oleh lima panel teknis, yaitu Panel Metodologi, Panel Proyek Skala Kecil, Panel Akreditasi, Panel Penerbitan Sertifikasi, dan Panel Land Use dan Kehutanan.  EB juga dibantu oleh dua Designated Operational Entity (DOE) dari pihak swasta, yaitu satu untuk memvalidasi dokumentasi desain proyek (Project Design Document), dan satu untuk memverifikasi terjadinya penurunan emisi.
Entitas publik atau swasta di negara berkembang dapat dengan sukarela menurunkan emisi melalui proyek CDM.  Penurunan emisi ini diukur dari sebuah “baseline” (tingkat emisi hipotetis jika proyek CDM tersebut tidak ada) dan sertifikasi dari penurunannya dapat dijual kepada entitas publik atau swasta di negara maju untuk diklaim oleh entitas tersebut sebagai pemenuhan kewajiban penurunan emisinya.
Pertumbuhan pasar CDM sangatlah pesat.  Tahun 2008 lalu diperkirakan bernilai $20 miliar.  Tahun 2007 $12 miliar, naik dua kali lipat dari $6 miliar pada 2006.  Diperkirakan pada 2012 pasar CDM akan meningkat hingga $60 miliar per tahun.  Permintaan sertifikasi penurunan emisi sekitar 3.5 miliar ton pada perioda komitmen pertama 2008 – 2012.  Proyek-proyek yang telah terdaftar pada EB berpotensi untuk menghasilkan sekitar 1.5 miliar ton, dengan proyek yang sedang dalam proses pendaftaran menyumbang sekitar 1 miliar ton lagi hingga 2012.   CERs yang telah diterbitkan oleh EB baru sekitar 200 juta ton.
Clean Development Mechanism (CDM) adalah satu-satunya mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk ikut serta.  Protokol Kyoto (Pasal 12) mendefinisikan dua sisi mata uang tujuan CDM ini, yaitu:
… to assist Parties not included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the ultimate objective of the Convention, and to assist Parties included in Annex I in achieving compliance with their quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3.
Interpretasi dari dua sisi tujuan CDM ini adalah bahwa untuk negara berkembang (negara yang tidak terdaftar dalam Annex I) mencapai pembangunan berkelanjutan dan bersumbangsih dalam pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim.  Untuk negara industri (negara “Annex I”), mencapai ketaatan (compliance) pada komitmen terkuantifikasi mereka untuk membatasi dan menurunkan emisi sesuai dengan Pasal 3 Protokol Kyoto.
Prosedur pelaksanaan CDM
Setelah ERPA ditandatangani, dan proyek dianggap layak untuk dikembangkan, maka tahap pertama dalam pengembangan proyek CDM adalah pembuatan Project Design Document (PDD), yaitu sebuah dokumen yang menggambarkan proyek CDM itu dengan detail.  Proyek CDM harus benar-benar menghasilkan penurunan emisi yang terukur dan dengan manfaat jangka panjang.
Pasal 12, paragraf 5 dari Protokol Kyoto menyebutkan bahwa penurunan emisi harus berdasarkan pada partisipasi sukarela dari para pihak yang terlibat, manfaat yang sebenarnya, terukur, dan jangka-panjang dalam kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim.  Penurunan emisi ini harus additional (tambahan) dari emisi yang bakal terjadi jika kegiatan proyek CDM ini tidak dilakukan.
Artinya, harus dibuktikan bahwa penurunan emisi ini tidak akan terjadi tanpa adanya proyek CDM ini.  Additionality ini adalah sebuah konsep mutlak yang harus dibuktikan oleh semua proyek CDM dalam PDDnya.   Hampir semua proyek yang ditolak oleh EB adalah mereka yang tidak dapat membuktikan additionality.  Proses validasi ini bisa berlangsung lama — bahkan ada yang lebih dari satu tahun.  Setelah validasi, sebuah konsultasi publik harus dilakukan di tempat proyek itu dikembangkan.  Komentar-komentar masyarakat terhadap proyek CDM itu harus didokumentasikan bersama-sama dengan rencana pengembang proyek untuk meresponsnya.  Akhirnya, proyek ini harus mendapatkan persetujuan dari Designated National Authority (DNA).
Setelah itu, proyek ini akan didaftarkan pada EB untuk diakui sebagai sebuah proyek CDM.  Pendaftaran dilakukan dengan mengajukan PDD yang telah final berikut laporan validasi, surat persetujuan dari DNA, serta dokumentasi konsultasi publik.  Dibantu oleh Sekretariat, panel-panel, serta reviewers, EB akan mengevaluasi dokumentasi ini untuk menyetujui, menyetujui dengan syarat, meminta review, atau menolaknya sebagai proyek CDM.
Sesudah proyek ini terdaftar, maka penghitungan penurunan emisi dapat dimulai.  Pada tahap ini, peran monitoring sangatlah penting.  Semua harus terukur dengan alat ukur yang presisi dan terkalibrasi dengan baik dan teratur.  Hasilnya pun harus terdokumentasikan dengan baik.  Hasil monitoring inilah yang akan diperiksa oleh DOE untuk memverifikasi penurunan emisinya, dan berdasarkan laporan verifikasi itu, sertifikasi penurunan emisi dapat diterbitkan oleh EB.
Tata Kelola CDM--Executive Board
Tatakelola CDM di tingkat internasional dikendalikan oleh CDM Executive Board (EB) yang beranggotakan 10 anggota tetap dan 10 anggota alternatif.  EB dibantu oleh lima panel teknis, yaitu Panel Metodologi, Panel Proyek Skala Kecil, Panel Akreditasi, Panel Penerbitan Sertifikasi, dan Panel Land Use dan Kehutanan.  EB juga dibantu oleh dua Designated Operational Entity (DOE) dari pihak swasta, yaitu satu untuk memvalidasi dokumentasi desain proyek (Project Design Document), dan satu untuk memverifikasi terjadinya penurunan emisi.
EB akan menentukan apakah sebuah proyek layak didaftarkan sebagai proyek CDM atau tidak.  Keputusan EB adalah final dan tidak dapat diganggu gugat.  Untuk mengambil keputusan-keputusan penting mengenai proyek CDM, EB bertemu tujuh – delapan kali setahun.
3.  Perdagangan Emisi (Emission Trading);
Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Skema ini selanjutnya dikenal dengan nama perdagangan emisi (Emission Trading,ET) dengan komoditas berupa unit jatah emisi (Assigned Amount Unit,AAU). Namun demikian, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi harus tetap memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protocol Kyoto. ET harus diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domestik tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 17 Protocol Kyoto.
Pasal-pasal Protocol Kyoto yang terkait dengan implementasi ET adalah:
·        Pasal 3.10, yang menetapkan bahwa ERU yang diperoleh dari JI atau sebagian jatah emisi dapat ditambahkan kepada suatu pihak apabila pihak tersebut mendapatkannya dari pihak lain sesuai dengan pasal 6 dan 17.
·        Pasal 3.11, yang menetapkan bahwa ERU yang diperoleh dari JI atau sebagian jatah emisi dapat dikurangkan dari suatu pihak apabila pihak tersebut mengalihkannya kepada pihak lain sesuai dengan pasal 6 dan 17.
·        Pasal 17, yang menetapkan bahwa negara-negara yang dapat terlibat dalam ET adalah para pihak yang termasuk dalam Annex B yang terdiri dari OECD, negara-negara Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet.

5.     Kapan Protokol Kyoto mulai berlaku?
Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:
1.     Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
2.     Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum 55% dari total emisi mereka pada 1990. Pada 23 Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%. Ini berarti semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.
6.     Kenapa Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto?
Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol kyoto karena khawatir akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” karena usulan mekanisme fleksibilitas terutama tentang perdagangan emisi justru berasal dai AS.
7.     Apakah Protokol Kyoto bisa memenuhi target?
Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena jumlah negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat di dalamnya baru mencapai 43%. Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992. Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya adalah bagian dari tawarmenawar yang lebih luas antara negaranegara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994). Mekanisme fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak melaksanakan langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru menggunakan instrumen pasar dan membuat persoalan penting ini menjadi komoditi di pasar internasional.
8.     Bagaimana Dengan Indonesia?
Indonesia telah meratifikasi kedua kesepakatan iklim melalui Undang- Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang- Undang No 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Setelah meratifikasi, pemerintah Indonesia kemudian menyusun Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Tetapi seperti banyak UU lain di Indonesia, pelaksanaan kedua UU ini juga lemah.

E.     REDD+ -- Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya.
Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. Perjanjian Kopenhagen secara terbuka menyebutkan REDD-plus sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk diimplementasikan di bawah perjanjian pasca Kyoto.
1.     Apakah REDD?
Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan
yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
2.     Bagaimana cara kerja REDD?
Pengurangan emisi atau ‘deforestasi yang dihindari’ diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon internasional. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian dan perkebunan.
3.     Apakah REDD+?
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
        mengurangi emisi dari deforestasi dan
        mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:
        peranan konservasi
        pengelolaan hutan secara lestari
        peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang.

4.     Siapakah yang menperoleh keuntungan dari REDD+?
Ketika REDD pertama kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh negara-negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya.
Di bawah skema REDD-plus yang lebih luas, negara-negara yang secara efektif sudah melindungi hutannya juga dapat memperoleh keuntungan. Praktek yang diterapkan secara berkelanjutan yang dapat membantu masyarakat miskin. Contohnya perusahaan kayu yang memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk dapat memanfaatkan hutan, juga akan diakui dan diberi penghargaan. Inisiatif penghijauan di kawasan hutan yang gundul dan terdegradasi juga akan dipertimbangkan. Jika REDD-plus dibawa ke meja perundingan, akan lebih banyak negara yang mendukung atau meratifikasi kesepakatan di masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, REDD-plus memerlukan kerangka kerja yang lebih rumit untuk mengakomodasikan seluruh kategori dan dapat menyebabkan terjadinya biaya transaksi dan implementasi yang lebih besar.
5.     Berapakah biaya REDD+? Darimanakah sumber pendanaanya?
Menurut Stern Review on the Economics of Climate Change, dana yang dibutuhkan untuk memotong hingga setengah emisi dari sektor hutan sampai dengan tahun 2030 dapat berkisar antara $17 milyar dan $33 milyar per tahun.
Uang dapat secara langsung berasal dari skema pendanaan internasional atau program pemerintah nasional. Sebagian dana sudah tersedia bagi proyek percontohan REDD melalui pasar karbon secara sukarela, namun sebagian besar uang yang akan disalurkan melalui pasar atau dana baru sebagai hasil negosiasi UNFCCC belum akan tersedia dalam beberapa tahun mendatang.
6.     Bagaimanakan proses kebijakan tentang REDD di Indonesia?
Proses penentuan kebijakan yang terkait dengan REDD di Indonesia didominasi oleh pendekatan dari-atas-ke-bawah (top-down). Hal ini dapat
dimengerti mengingat sebagian besar delegasi dalam Konferensi Para Pihak
adalah pegawai pemerintah (pusat). Merekalah yang memperoleh informasi
pertama dan mereka pulalah yang diberi wewenang oleh Konvensi Perubahan Iklim dalam menentukan posisi di meja perundingan dan pelaksanaan kegiatan REDD di kemudian hari.
Diawali dengan pembentukan Indonesian Forest-Climate Alliance (IFCA), pemerintah mengundang partisipasi berbagai pihak untuk mencermati rancang bangun REDD. Kelompok ini kemudian merumuskan perlunya kerangka kebijakan yang terkait dengan: (i) penentuan tingkat emisi acuan, (ii) strategi penggunaan lahan, (iii) pemantauan, (iv) mekanisme keuangan dan (v) pembagian keuntungan dan tanggung jawab.
Untuk mematangkan proses kebijakan yang akan ditempuh, Pemerintah
selanjutnya mengusulkan rancangan kesiapan (Readiness Plan, R-Plan) kepada Bank Dunia untuk menunjang pelaksanaan REDD di Indonesia. Selain
kelima komponen di atas, di dalam R-Plan juga diuraikan rencana penilaian
dampak REDD terhadap kondisi sosial dan lingkungan serta investasi untuk
pengembangan kapasitas. Bersamaan dengan ini, usulan lain juga diajukan
kepada UN-REDD, sebuah program kolaborasi badan-badan PBB (FAO, UNEP dan UNDP), khususnya yang menyangkut kerjasama lintas sektor di Indonesia.
Sementara itu kalangan masyarakat madani (civil society) dan pemangku
kepentingan (stakeholders) di luar pemerintah lebih banyak bersikap menunggu atau memberi respons terhadap ajakan pihak ketiga, termasuk dari masyarakat madani dan investor dari luar negeri. Berbagai kegiatan uji coba (demonstration activities) sudah dilakukan di beberapa daerah. Konsultasi publik juga telah dilakukan dengan dukungan yang terbatas dari Pemerintah Daerah yang belum sepenuhnya memahami proses REDD. Oleh karena itu dalam fase persiapan ini pemerintah akan banyak berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk dapat memposisikan mereka dalam kebijakan REDD secara utuh baik pada tingkat nasional maupun sub nasional (tingkat daerah).
7.     Perangkat hukum pelaksanaan REDD di Indonesia
Sejak penyelenggaraan COP13 di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD. Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu:
1.     Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf)
2.     Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf)
3.     Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/ P36_09.pdf)
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah
dapat dilaksanakan. Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait.


Reference

Daniel Murdiyarso, 2003, Protocol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara berkembang, Jakarta:Kompas
Daniel Murdiyarso, 2003, CDM:Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta:Kompas
http://unfccc.int/ kyoto protocol
Kementrian Lingkungan Hidup, JICA, Pelangi. 2004. Bumi Makin Panas : Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta
Lembar Informasi No.1 “tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim”
Lembar Informasi No. 2 ” Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami Peraturan Internasional tentang Perubahan Iklim”
Lembar Informasi No. 3 ”Berubah atau Diubah: Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup di Bumi”
Lembar Informasi No. 4 ”Nyepi (Hening) untuk Bumi: Pesan Kearifan dari Bali untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca”

1 comment:

  1. HELLO TO PERHATIAN ANDA
    Aku mengutus kamu kesaksian ini menyusul layanan yang diberikan oleh saya
    wanita ini ketika saya sedang mencari untuk pinjaman

    uang.Anda yang mencari untuk pinjaman uang, saya tidak tahu
    bagaimana Anda berbagi sukacita saya karena menjadi diriku sendiri

    Penelitian pinjaman, saya datang di seorang wanita bernama NICOLE MIREUR seorang wanita bisnis Perancis. Dia

    diberikan pinjaman 25.000 euro dan saya berbicara dengan beberapa rekan
    yang juga menerima pinjaman dari wanita ini tanpa

    memiliki kekhawatiran. Terutama bagi saya, saya menerima permintaan saya
    Protokol tidak ada kredit dan saya cukup puas. The

    Alasan mengapa saya mempublikasikan posting ini di halaman dan yang
    Wanita masih terus melakukan keajaiban untuk

    orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Jadi saya memutuskan untuk berbagi
    kesempatan ini untuk Anda yang tidak memiliki budi

    bank atau telah harus berurusan dengan pemberi pinjaman yang tidak bermoral
    melakukan menyalahgunakan kepribadian orang lain; Anda memiliki

    pembiayaan proyek atau kebutuhan, Anda dapat menulis dan
    menjelaskan situasi Anda; itu akan membantu Anda jika

    kejujuran Anda yakin email mereka: delormerolande@yahoo.fr

    ReplyDelete