Thursday, January 26, 2012

Balada Katak Rebus : Sebuah Bunuh Diri Ekologis??


Peter Senge (The Fifth Discipline,1990) menuturkan “Balada Katak Rebus”.
Seekor katak secara naluri pasti akan langsung melompat menyelamatkan diri saat ia dimasukkan ke dalam kuali bêtise air mendidih. Tetapi lain halnya, jika dari awal katak dimasukkan kedalam kuali air dingin yang direbus. Si katak akan merasa nyaman. Saat air dipanaskan secara perlahan-lahan, katak tetap diam, bahkan bias terlelap tidur nyenyak.
Katak tidak berusaha menyelamatkan diri karena tubuhnya mampu beradaptasi menikmati hangatnya perpindahan suhu air. Akibatnya, katak tidak pernah menyadari adanya ancaman lambat hingga ia mati dengan nikmat (tertidur lelap) dalam air mendidih. Ironis memang.
Namun, kejadian itu sebenarnya juga tengah kita rasakan dalam kehidupan perkotaan. Kita menjadi terbiasa (beradaptasi menikmati?) kesemrawutan dan kekacauan kehidupan perkotaan yang dilanda bencana ekologis datang silih berganti.
Seluruh pancaindra tubuh kita dilatih terbiasa tak beradab yang secara perlahan justru menyirnakan kepekaan menjadi kepekaan terhadap lingkungan alam sekitar.
Hidung kita terlalu terbiasa menghirup udara kota yang penuh gas polutan. Telinga mendengar kebisingan lalu lalang kendaraan dan operator fisik bangunan yang memekakkan selaput gendang telingan. Mata melihat visual kemiskinan, kekumuhan, kekotoran, kekerasan, kemacetan lalu lintas, dan kebakaran sebagai hal lumrah. Mulut mudah mengumpat kekesalan di jalan raya, sementara lidah menelan makanan yang tidak sehat. Kaki tidak biasa dipakai berjalan kaki menyusuri trotoar kota atau mengayuh sepeda ke tempat kerja. Tangan-tangan justru dimanfaatkan melakukan vandalisme fasilitas publik. Lalu apa yang tersisa bagi kota?
Hasil rekam jejak pendapat warga terhadap kondisi lingkungan kota menunjukkan tiga masalah besar yang menjadi problem utama. Kondisi udara, kebersihan kota, dan kondisi jalan mendapat penilaian yang semakin buruk. Secara tidak langsung, kondisi yang buruk ini mempunyai keterkaitan langsung dengan masalah banjir serta genangan akibat sampah serta kemandekan sistem kebersihan saluran air kota. Sementara peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan semakin berkurangnya RTH sangat berdampak terhadap peningkatan pencemaran udara.
Penebangan pohon yang terus terjadi, asap knalpot kendaraan bermotor yang menyumbat pernafasan, burung dan satwa liar lainnya menghilang, dan taman-taman tidak disinggahi anak-anak. Itukah hidup yang kita inginkan?
Alangkah naifnya nasib sebagian warga. Mereka mungkin berperan sebagai penonton saja atas dinamika kota yang tidak banyak memberikan kesejahteraan terhadap nasib mereka. Jika wajah buruk kota ini semakin sulit dibenahi, apakah ada cara lain yang efektif?
Jika kita menganggap semuanya dalam keadaan baik-baik saja dan tetap beraktivitas seperti biasa, berarti kepekaan kita terhadap alam sudah hilang.
Kita harus merasa ‘kesal’ mengalami siklus bencana lingkungan tiada henti.
Kita jangan sampai ‘bebal’ kehilangan kepekaan terhadap krisis lingkungan.
Kita bukan makhluk yang ‘kebal’ terhadap dampak pencemaran lingkungan atau aman dari penyakit lingkungan.
Kita justru harus ‘sebal’ jika kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk dapat membantu menyelamatkan lingkungan, karena ‘sesal’ kemudian tiada guna.

“Lingkungan tidak dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya sendiri, butuh uluran tangan kita untuk menjaganya. Mari memulai perubahan dari diri kita sendiri, dari hal-hal kecil, dan mulai dari sekarang.kini saatnya kita bertindak!”

No comments:

Post a Comment