Thursday, January 26, 2012

Bahaya PAH bagi Manusia


1.     Imunosupresi (menghambat system)
Polisiklik aromatik hidrokarbon atau biasa disebut PAH adalah suatu golongan komponen organik yang terdiri dari lebih dari dua cincin aromatik. PAH dibentuk melalui pembakaran tidak sempurna. PAH dapat masuk kedalam tubuh melalui makanan, asap rokok, asap knalpot atau asap hasil pembakaran oleh industri. Pada makanan yang dibakar seperti pemasakan daging atau ikan atau makanan lain yang menggunakan panas dari api secara langsung dapat membuat lemak pada makanan meleleh dan menetes pada api dan menghasilkan komponen senyawa PAH. Senyawa kimia yang terbawa oleh asap pembakaran akan melapisi permukaan makanan. Akibatnya semakin lama paparan terhadap api, maka semakin banyak PAH yang  menempel pada makanan. Makanan yang telah diproses pada suhu tinggi seperti penggorengan dan  pembakaran adalah sumber utama PAH. Pada daging dan ikan yang telah dibakar ditemukan PAH sebanyak 200 µg/kg makanan. Pada daging barbeque, ditemukan PAH sebanyak 130 µg/kg makanan. Sedangkan untuk makanan yang belum diproses memiliki jumlah PAH sebanyak 0.01-1 µg/kg makanan.
Imunosupresi akibat toksisitas PAH bagi kesehatan manusia dapat memperbesar kerentanan tubuh terhadap bakteri, parasit dan virus, serta kerentanan terhadap kanker.
Utamanya bagi kanker, disebabkan karena adanya senyawa Hidrokarbon polisiklik aromatic tertentu yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, artinya ada yang bersifat kanker. Senyawa ini dapat menghasilkan tumor pada tikus dalam waktu yang sangat singkat meskipun hanya sedikit yang dioleskan pada kulitnya. Hidrokarbon karsinogenik ini tidak hanya terdapat pada tar batu bara, melainkan juga pada jelaga dan asap tembakau dan dapat terbentuk dalam daging bakar. Efek biologisnya telah diketahui sejak lama, yaitu sejak 1775, ketika jelaga didefinisikan sebagai penyebab kanker zakar para pembersih cerobong. Kejadian kanker bibir dan jantung juga dijumpai pada pengisap rokok. Bahkan PAH telah dipercaya sebagai salah satu penyebab utama kanker paru-paru. Dr Hecht dan rekan menuturkan senyawa PAH yang disebut dengan fenantrena dalam rokok cepat membentuk zat beracun dalam darah yang menyebabkan mutasi hingga memicu terjadinya kanker.
Cara karsinogen ini menyebabkan kanker sekarang sudah mulai terungkap. Untuk mengeliminasi hidrokarbon, tubuh mengoksidasinya agar lebih larut dalam air, sehingga lebih mudah diekskresikan. Produk oksidasi metabolik tampaknya merupakan penyebab utama kanker. Contohnya, salah satu karsinogen yang paling kuat dari jenis ini adalah benzo[a]pirena. Oksidasi enzimatik mengkonversinya menjadi diol-epoksida seperti ditunjukkan pada gambar di bawah.

Diol-epoksida ini kemudian bereaksi dengan DNA sel, menyebabkan mutasi yang akhirnya mencegah sel bereproduksi secara normal.

2.     Penyebab Toksisitas Reproduktif
Toksisitas reproduktif atau Toksikologi Reproduksi adalah kondisi yang muncul akibat efek-efek berbahaya dari suatu zat kimia yang merugikan fungsi seksual dan sistem reproduksi kaum laki-laki dan perempuan sekaligus efek yang mengganggu perkembangan normal baik sebelum maupun sesudah lahir (juga disebut toksisitas perkembangan)
Beberapa golongan PAH, seperti Benzo[a]pyrene, diketahui dapat menganggu fungsi reproduksi. Penelitian yang dilakukan pada tikus percobaan menunjukan bahwa paparan Benzo[a]pyrene dapat mengurangi tingkat kesuburan tikus betina. Pada dosis yang cukup tinggi, Benzo[a]pyrene dapat menghancurkan sel telur sehingga tidak dapat dibuahi oleh sperma.  selain itu Benzo[a]pyrene yang dikonsumsi oleh tikus hamil ternyata mampu pindah ke jaringan plasenta dan masuk ke dalam jaringan embrio dan memicu terjadinya resorpsi kembali janin oleh rahim atau kematian pada janin.
Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian Penyakit AS,Studi tahun 2007 menggunakan model tikus menunjukkan kalau paparan pada hidrokarbon aromatik polisiklik  ketika lahir dan menyusui mengurangi jumlah sel telur di rahim anak perempuan yang dilahirkan hingga dua pertiga.


Biaya sosial yang timbul akibat pertambahan jumlah kendaraan bermotor (Biaya Kesehatan, Biaya Lingkungan, Biaya Kemacetan)


TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kemacetan Dan Keterlambatan
Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati 0 km/jam atau bahkan menjadi 0 km/jam sehingga mengakibatkan terjadinya antrian. Terjadinya kemacetan dapat dilihat dari nilai derajat kejenuhan yang terjadi pada ruas jalan yang ditinjau, dimana kemacetan terjadi jika nilai derajat kejenuhan tercapai lebih dari 0.8 (MKJI, 1997)
Keterlambatan adalah kondisi dimana terjadinya penurunan kecepatan bebas ruas jalan yang ditinjau tanpa terjadinya adanya kemacetan. Keterlambatan lebih dipengaruhi oleh sikap pengemudi, bukan oleh nilai kelebihan kapasitas jalan. Pada kondisi ini tidak terjadi kejenuhan lalu lintas dimana nilai derajat kejenuhan di bawah atau sama dengan 0,8 (MKJI, 1997)
2.2. Biaya Kemacetan
Biaya Kemacetan adalah biaya perjalanan akibat tundaan lalu lintas maupun tambahan volume kendaraan yang mendekati atau melebihi kapasitas pelayanan jalan (Nash, 1997, dalam Cahyani, 2000).
Kemacetan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti : disiplin para pelaku lalu lintas (pengguna jalan) atau jalan rusak. Secara matematis dinyatakan sebagai V/C > 1. Meskipun demikian dalam hal jalan rusak dan terjadi kemacetan pada ruas jalan tersebut, yang terjadi adalah justru V/C < 1. Dalam hal kemacetan murni, artinya kemacetan bukan disebabkan oleh kerusakan jalan, semua pihak ikut menjadi penyebab kemacetan.
Kemacetan pada dasarnya adalah persoalan lalu lintas, namun hal itu dapat terjadi sebagai akibat kesalahan perencanaan perangkutan, yakni dalam menentukan kebijakan pilihan moda (modal split) dan atau pembebanan jaringan (traffic asignment). Dengan kata lain, kemacetan bukan semata-mata masalah perlalulintasan melainkan dapat saja berakar pada sektor perangkutan. Olehkarena itu, di samping upaya membuat V/C < 1, upaya melalui sektor perangkutan pun perlu dilakukan (Warpani, 2002).
Dalam upaya agar V/C < 1, maka yang perlu dilakukan adalah pengelolaan perlalulintasan melalui berbagai rekayasa lalu lintas seperti : menerapkan kebijakan lalu lintas satu arah, membangun median jalan, membangun pulau lalu lintas, memasang lampu lalu lintas, atau membuat marka jalan. Upaya rekayasa ini bertujuan meningkatkan kapasitas ruas jalan tertentu guna melancarkan arus lalu lintas, sehingga pemborosan biaya akibat kemacetan dapat ditekan sampai titik minimal.
Nilai Waktu Perjalanan adalah biaya akibat adanya hambatan perjalanan (travel delay) terhadap penumpang, dibuat berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga dan berbanding lurus dengan kecepatan.
Biaya Operasional Kendaraan adalah biaya yang berkaitan dengan pengoperasian system transportasi tersebut, antara lain biaya pemakaian bahan bakar, oli, ban, dan biaya pemeliharaan dan berbanding terbalik dengan kecepatan.
2.3. Model Penghitungan Biaya Kemacetan
Model Kaitan antara Kecepatan dengan Biaya Kemacetan (Tzedakis,1980):
Asumsi model:
a) Perbedaan tingkat kecepatan kendaraan (lambat dan cepat),
b) Kecepatan tiap kendaraan tidak dibuat berdasarkan tingkat (keadaan) lalu lintas,
c) Tidak menggunakan satuan masa penumpang,
d) Biaya kemacetan cenderung nol jika kecepatannya sama,
e) Mempertimbangkan kendaraan yang bersifat stokastik,
f) Kendaraan tidak dapat saling mendahului.
Rumusan model:
dimana:
C = Biaya Kemacetan (Rupiah),
N = Jumlah Kendaraan (Kendaraan),
G = Biaya Operasional Kendaraan (Rp/Kend.Km),
A = Kendaraan dengan Kecepatan eksisting (Km/Jam),
B = Kendaraan dengan Kecepatan Ideal (Km/Jam),
V’ = Nilai Waktu Perjalanan Kendaraan Cepat (Rp/Kend.Jam),
T = Jumlah Waktu Antrian (Jam).


ANALISA
A.                  Biaya Kesehatan
Senyawa-senyawa di dalam gas buang terbentuk selama energi diproduksi untuk mejalankan kendaraan bermotor. Beberapa senyawa yang dinyatakan dapat membahayakan kesehatan adalah berbagai oksida sulfur, oksida nitrogen, dan oksida karbon, hidrokarbon, logam berat tertentu dan partikulat. Pembentukan gas buang tersebut terjadi selama pembakaran bahan bakar fosil-bensin dan solar didalam mesin. Dibandingkan dengan sumber stasioner seperti industri dan pusat tenaga listrik, jenis proses pembakaran yang terjadi pada mesin kendaraan bermotor tidak sesempurna di dalam industri dan menghasilkan bahan pencemar pada kadar yang lebih tinggi, terutama berbagai senyawa organik dan oksida nitrogen, sulfur dan karbon. Selain itu gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan jalan raya yang sering dekat dengan masyarakat, dibandingkan dengan gas buang dari cerobong industri yang tinggi. Dengan demikian maka masyarakat yang tinggal atau melakukan kegiatan lainnya di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor dan mereka yang berada di jalan raya seperti para pengendara bermotor, pejalan kaki, dan polisi lalu lintas, penjaja makanan sering kali terpajan oleh bahan pencemar yang kadarnya cukup tinggi. Estimasi dosis pemajanan sangat tergantung kepada tinggi rendahnya pencemar yang dikaitkan dengan kondisi lalu lintas pada saat tertentu.
Berdasarkan sifat kimia dan perilakunya di lingkungan, dampak bahan pencemar yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor digolongkan sebagai berikut :
1. Bahan-bahan pencemar yang terutama mengganggu saluran pernafasan.
2. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik.
3. Bahan-bahan pencemar yang dicurigai menimbulkan kanker.
4. Kondisi yang mengganggu kenyamanan seperti kebisingan, debu jalanan, dll.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 1 Dampak pencemaran udara akibat kendaraan bermotor
1.
Bahan-bahan pencemar yang mengganggu saluran pernafasan
Sulfur Dioksida (SO2)

Sifat iritasi terhadap saluran pernafasan, menyebabkan SO2 dan partikulat dapat membengkaknya membran mukosa dan pembentukan mukosa dapat meningkatnya hambatan aliran udara pada saluran pernafasan. Kondisi ini akan menjadi lebih parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung atau paru-paru dan para lanjut usia
Nitrogen Dioksida
(NO2)
Karena larutan NO2 dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO2, maka NO2 akan dapat menembus ke dalam saluran pernafasan lebih dalam. Bagian dari saluran yang pertama kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan jaringan paru. Organ lain yang dapat dicapai oleh NO2 dari paru adalah melalui aliran darah.
Ozon dan oksida lainnya
Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500 μg/m³ dalam waktu singkat dapat merusak fungsi paru-paru anak, meningkat frekwensi serangan asma dan iritasi mata, serta menurunkan kinerja paraolaragawan.
22.
Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik
Karbon Dioksida (CO2)Karbon Monoksida (CO)Hidrokarbon
Pajanan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka  terhadap kekurangan oksigen.

Dalam jumlah kecil dapat menimbulkan gangguan berfikir, gerakan otot, gangguan jantung.
Timbal (Pb)
Pengaruh Pb pada kesehatan yang terutama adalah pada sintesa haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Pengaruh pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat menyebabkan anemia, Pengaruh pada syaraf otak  anak diamati pada kadar 60μg/100 ml dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan mental anak, Timbal dapat menembus plasenta, dan karena perkembangan otak yang khususnya peka terhadap logam ini, maka janinlah yang terutama mendapat resiko.
33.
Bahan-bahan pencemar yang dicurigai menimbulkan kanker.

bahanbahan
pencemar yang bersifat karsinogenik danmutagenik, seperti etilen, formaldehid, benzena, metil nitrit dan hidrokarbon
poliaromatik (PAH).
Emisi kendaraan bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik diperkirakandapat menimbulkan tumor pada organ lain selain paru.
44.
Kondisi yang mengganggu kenyamanan
Debu - partikel
Dampak yang di timbulkan amat membahayakan, karena dapat meracuni sistem pembentukan hemoglobin.
Sumber : Dephan, 2001

B.                  Biaya lingkungan
Tidak semua senyawa yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor diketahui dampaknya terhadap lingkungan selain manusia. Beberapa senyawa yang dihasilkan dari pembakaran sempurna seperti CO2 yang tidak beracun, belakangan ini menjadi perhatian orang. Senyawa CO2 sebenarnya merupakan komponen yang secara alamiah banyak terdapat di udara. Oleh karena itu CO2 dahulunya tidak menepati urutan pencemaran udara yang menjadi perhatian lebih dari normalnya akibat penggunaan bahan bakar yang berlebihan setiap tahunnya.
·                     Efek Rumah Kaca (Green House Effect)
Pengaruh CO2 disebut efek rumah kaca dimana CO2 diatmosfer dapat menyerap energi panas dan menghalangijalanya energi panas tersebut dari atmosfer ke permukaan yang lebih tinggi. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya suhu rata -rata di permukaan bumi dan dapat mengakibatkan meningginya permukaan air laut akibat melelehnya gunung-gunung es, yang pada akhirnya akan mengubah berbagai sirklus alamiah.
·                     Dampak Pencemaran Terhadap Tanaman dan Hujan Asam
Pengaruh pencemaran SO2 terhadap lingkungan telah banyak diketahui. Pada tumbuhan, daun adalah bagian yang paling peka terhadap pencemaran SO2, dimana akan terdapat bercak atau noda putih atau coklat merah pada permukaan daun. Dalam beberapa hal, kerusakan pada tumbuhan dan bangunan disebabkan karena SO2 dan SO3 di udara, yang masing-masing membentuk asam sulfit dan asam sulfat. Suspensi asam di udara ini dapat terbawa turun ke tanah bersama air hujan dan mengakibatkan air hujan bersifat asam. Sifat asam dari air hujan ini dapat menyebabkan korosif pada logam-logam dan rangka -rangka bangunan, merusak bahan pakian dan tumbuhan.
·                     Smog
Oksida nitrogen, NO dan NO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Pengaruh NO yang utama terhadap lingkungan adalah dalam pembentukan smog. NO dan NO2 dapat memudarkan warna dari serat-serat rayon dan menyebabkan warna bahan putih menjadi kekuning-kuningan.


C.                  Biaya kemacetan (Studi Kasus: Ruas Jalan Gejayan,Yogyakarta)
Hubungan antara jumlah arus (smp/jam) dengan kecepatan yang terjadi (km/jam) sesuai dengan pemahaman dasar bahwa semakin besar arus semakin kecil kecepatannya, atau dengan kata lain kecepatan berbanding terbalik dengan besarnya arus lalu lintas.
Biaya Operasi Kendaraan Jenis Sepeda Motor
Sumber : Imam Basuki, Siswadi, UAJY, 2008

Perhitungan kerugian akibat kemacetan :
Kapasitas dasar untuk ruas jalan gejayan adalah 1.650 SMP/jam per jalur sehingga kapasitas dasar untuk 4 jalur adalah 6.600 SMP/jam. Faktor penyesuaian lebar jalan, besarnya 1,08. Faktor penyesuaian arah lalu lintas besarnya 1,0. Faktor penyesuaian gesekan samping dan kerb besarnya 0,96. Faktor ukuran kota besarnya 1,0. Sehingga Kapasitas jalan gejayan 6.843 SMP/jam. Kondisi pengamatan jalan gejayan dilewati sejumlah 1.017,79 SMP/jam untuk satu arah atau sejumlah sekitar 2.035 SMP/jam sehingga karena masih sangat jauh dibawah kapasitasnya maka jalan Gejayan dapat dikatakan tidak mengalami kemacetan.
Namun apabila dilihat dari kecepatannya, dimana kecepatan pada Jalan Gejayan berdasarkan kecepatan desain tipikal jalan lokal adalah sebesar 30 km/jam maka arus lalu lintas pada jalan Gejayan mengalami kelambatan.
Dari kelambatan masing-masing tipe kendaraan yang terjadi per jamnya maka dapat diperhitungkan jumlah jarak tempuh yang seharusnya dapat dilakukan atau total kelambatan yang bisa terjadi dalam kilometer. Dengan menggunakan nilai biaya opearsi kendaraan (BOK) masingmasing tipe kendaraan maka diperoleh nilai kerugian yang terjadi akibat kelambatan yang terjadi.

Pengurangan kecepatan/kelambatan yang terjadi
     Sumber : Imam Basuki, Siswadi, UAJY, 2008

Dari kelambatan masing-masing tipe kendaraan yang terjadi per jamnya maka dapat diperhitungkan jumlah jarak tempuh yang seharusnya dapat dilakukan atau total kelambatan yang bisa terjadi dalam kilometer. Dengan menggunakan nilai biaya opearsi kendaraan (BOK) masingmasing tipe kendaraan maka diperoleh nilai kerugian yang terjadi akibat kelambatan yang terjadi,sebagai berikut:
Nilai Kerugian Yang Terjadi Akibat Kelambatan (Rp/Km)
              Sumber : Imam Basuki, Siswadi, UAJY, 2008

Kesimpulan:
·         Biaya kesehatan yang timbul bagi masyarakat akibat dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh emisi kendaraan bermotor sangat besar, hal ini terkait kandungan emisi kendaraan bermotor yang mampu menyebabkan bermacam penyakit utamanya bagi pengguna jalan raya.
·         Biaya lingkungan yang timbul juga tak kalah besarnya, hal ini disebabkan karena emisi kendaraan bermotor terbukti dapat menurunkan kulaitas lingkungan. Dan biaya pemulihan lingkungan yang harus dikeluarkan menjadi sangat besar.
·         Perhitungan biaya kesehatan dan lingkungan secara teknis dapat dihitung dengan mengkonversikan nilai-nilai sosial (yang bersifat kualitatif) menjadi nilai ekonomi dalam bentuk biaya. Misalnya saya biaya yang diperlukan seseorang untuk memeriksakan kesehatan yang ditimbulkan oleh pencemaran udara, biaya kerugian dan pemulihan yang diperlukan masyarakat akibat sifat hujan asam yang korosif. Namun perhitungan teknis ini sifatnya spesifik, karena terkait tingkat pencemaran yang terjadi, masyarakat yang terkena dampak, serta factor-faktor spasial lain yang terkait.
·         Kerugian paling dasar dari kemacetan lalu lintas adalah kerugian akan waktu tempuh, yaitu adanya pemborosan bahan bakar sehingga adanya kenaikan biaya operasi kendaraan.
·         Kerugian akibat kelambatan arus lalu lintas yang terjadi di jalan Gejayan adalah sebesar Rp.  11.282.482,21 per jam. Kerugian ini berupa bertambahnya biaya operasional kendaraan yang semestinya tidak perlu dikeluarkan apabila kecepatannya bisa mencapai kecepatan desain perencanaan.
·         Dengan adanya perhitungan biaya kemacetan yang begitu besar, diharapkan suatu pembenahan terhadap system transportasi, khusunya di perkotaan, sehingga pemborosan energy dapat dihindari, serta dampak-dampak negative yang ditimbulkan akibat system transportasi yang tidak optimal dapat ditanggulangi. Antara lain dengan perencanaan  transportasi, green transportation, dll.

Daftar pustaka
Indah Kastiyowati, ST, Dampak Dan Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara, buletinlitbang.dephan.go.id: stt no. 2289 volume vi nomor 7 desember tahun 2001
Tri Tugaswati, 2000, Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan, jpn j of health and human ecology 61:261-75
Evi naria, 2005, Mewaspadai Dampak Bahan Pencemar Timbal (Pb) Di Lingkungan Terhadap Kesehatan,  fakultas kesehatan masyarakat universitas sumatera utara : jurnal komunikasi penelitian volume 17 ( 4) 2005
Moch solikin, Dampak Dan Upaya Mengendalikan Gas Buang Kendaraan Bermotor, Cakrawala pendidikan no.3, tahun xvi, nov 1997
Imam basuki, siswadi, Biaya Kemacetan Ruas Jalan Kota Yogyakarta, jurusan teknik sipil ugm : volume 9 no. 1, oktober 72 2008 : 71 - 80

Isu Kependudukan, Lingkungan Hidup, dan Sistem Pemerintahan


Isu Kependudukan, Lingkungan Hidup,
dan Sistem Pemerintahan
Dyah Ayu Putri Kusuma
-- Isu Lingkungan Dalam Pembangunan –
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro


Pendahuluan
Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian yang besar dihampir semua negara di dunia dalam dasawarsa 1970 an. Ini terjadi setelah diadakan Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972.
Terdapat kesan bahwa masalah lingkungan hidup adalah suatu hal yang baru. Namun sebenarnya, permasalahan itu telah ada sejak manusia ada di bumi. Oleh sebab itu faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan hidup adalah besarnya populasi manusia.
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman, dan lain kebutuhan serta limbah domestik juga bertambah dengan cepat. Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup.
Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena kemajuan teknologi. Akan tetapi yang harus diingat bahwa teknologi bukan saja dapat merusak lingkungan, melainkan diperlukan juga untuk mengatasi masalah lingkungan hidup. Contoh: Mesin mobil yang tidak menggunakan bahan bakar fosil (bensin), tetapi menggunakan gas.
Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi, dan lain-lain; karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Ini dilakukan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam upaya mempertahankan jenis dan keturunannya.
Pemenuhan kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti sudah berkaitan dengan konsep ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Dengan demikian apabila membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait, sehingga permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan ekologi.

Penduduk dan Lingkungan
Ketidakberimbangan Supply Demand Dalam Dua Kutub Pertumbuhan
Masalah kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya maupun negara-negara lainnya di dunia umumnya. Brown (1992:265-280), menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup dan kependudukan yaitu masalah pencemaran lingkungan fisik, desertifikasi, deforestasi, overs eksploitasi terhadap sumber-sumber alam, serta berbagai fenomena degradasi ekologis semakin hari semakin menujukkan peningkatan yang signifikan. Keprihatinan ini tidak saja memberikan agenda penanganan masalah lingkungan yang bijak. Namun juga merupakan “warning” bagi kehidupan, bahwa kondisi lingkungan hidup sedang berada pada tahap memprihatinkan. Seandainya tidak dilakukan upaya penanggulangan secara serius, maka dalam jangka waktu tertentu kehidupan ini akan musnah. Hal ini terjadi menurut Soemarwoto (1991:1), karena lingkungan (alam) tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia.
Padatnya penduduk suatu daerah akan menyebabkan ruang gerak suatu daerah semakin terciut, dan hal ini disebabkan manusia merupakan bagian dari ekosistem, dimana manusia hidup dengan mengekploitasi lingkungannya. Pertumbuhan penduduk yang cepat meningkatkan permintaan (demand) terhadap sumber daya alam. Pada saat yang sama meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh membengkaknya jumlah penduduk yang pada akhirnya akan berpengaruh pada semakin berkurangnya produktifitas sumber daya alam (supply). Menurut Wijono (1998:5) kondisi sebagaimana digambarkan tersebut dapat mengandung sebuah konsekuensi, yaitu berubahnya salah satu atau beberapa komponen dalam ekosistem, mengakibatkan perubahan pada interaksi komponen-komponen itu, sehingga struktur organisasi dan sifat-sifat fungsional ekosistem akan berubah pula.
Dalam perspektif historis tentang kependudukan dan dampak lingkungan Derek Lewlyn dan Jones (dalam Alfi, 1990:22) melakukan penelitian di kota Sidney di Australia, berdasarkan hasil penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa sebenarnya keseimbangan ekologi itu tidak kekal. Kota Sidney yang dulunya sangat asri dengan tatanan lingkungan kota yang nyaman, tetapi mulai periode 80-an, semuanya telah berubah menjadi tidak nyaman lagi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menandakan bahwa perkembangan penduduk sedikit banyak akan mempengaruhi lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik. Dari kenyataan sejarah menurut Derek Lewlyn dan Jones, sebenarnya krisis lingkungan hidup yang terjadi pada masyarakat modern ini sebagai dari peledakan penduduk dan kemajuan teknologi modern, sudah dimulai ratusan tahun lalu. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa perkembangan penduduk dunia dilihat dari perspektif sejarah sebenarnya mempunyai tiga tahapan transisi yang biasa diistilahkan dengan konsep “Demographis Transition”. Tiga transisi itu adalah:
1.       Pra-transition;
2.       Transition;
3.       Post transition.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Derek Lewlyn dan Jones, bahwa dalam masyarakat pra-transition, tingkat kematian dan tingkat kelahiran sama tinggi. Masyarakat-masyarakat semacam ini masih ada dalam kehidupan masyarakat modern, seperti di Afrika, Amerika Latin dan sebagian Asia. Masyarakat transition, rata-rata tingkat kematian mulai menurun, terutama tingkat kematian bayi dan anak-anak. Akibat dari keadaan ini maka tingkat kelahiran meningkat; lebih banyak anak-anak hidup mencapai usia produktif. Pada tingkat akhir masa transition ini tingkat kelahiran juga menurun sebagai akibat dari pelaksanaan “birth control”. Pada umumnya sebagian negara berkembang berada pada tingkat transition. Sementara itu pada masyarakat post-transition rata-rata tingkat kelahiran dan kematian rendah. Hal ini disebabkan jumlah bayi dan anak-anak sampai pada tingkat minimum sekali. Tahapan transisi dalam pertumbuhan penduduk ini membawa dampak kepada keseimbangan lingkungan.Artinya bahwa semakin cepat pertumbuhan penduduk, maka akan membawa akibat kepada tekanan yang kuat terhadap sumber daya alam. Seperti meningkatnya kebutuhan pangan, air bersih, pemukiman dan sebagainya. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara persediaan sumber daya alam dengan kebutuhan manusia.
Pertambahan penduduk yang cepat, makin lama makin meningkat hingga akhirnya memadati muka bumi. Hal ini membawa akibat serius terhadap rentetan masalah besar yang membentur keseimbangan sumber daya alam. Karena bagaimanapun juga setiap menusia tidak lepas dari bermacam-macam kebutuhan mulai dari yang pokok hingga sampai pada kebutuhan pelengkap. Sedangkan semua kebutuhan yang diperlukan oleh manusia sangat banyak dan tidak terbatas, sementara itu kebutuhan yang diperlukan baru akan terpenuhi manakala siklus dan cadangan-cadangan sumber daya alam masih mampu dan mencukupi. Tetapi akan lain jadinya jika angka pertumbuhan penduduk kian melewati batas siklus ataupun jumlah cadangan sumber-sumber kebutuhan. Andaikata kondisi perkembangan demikian tidak diupayakan penanganan secara serius maka pada saatnya akan terjadi suatu masa krisis. Lebih parah lagi sebagaimana dikemukakan diatas adalah terjadinya bencana yang dapat memusnahkan kehidupan manusia.
Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat dapat berdampak kepada meningkatnya kepadatan penduduk, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan secara menyeluruh. Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan penduduk sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian lingkungan adalah sebagai berikut:
1.       Meningkatnya Jumlah Timbulan Limbah
Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut dengan limbah domestik. Dengan naiknya kepadatan penduduk berarti jumlah orang persatuan luas bertambah. Karena itu jumlah produksi limbah persatuan luas juga bertambah. Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terjadi konsentrasi produksi limbah. Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang melahirkan industri dan sistem transport modern. Industri dan transport menghasilkan berturut-turut limbah industri dan limbah transport.
2.       Meningkatnya Kebutuhan pangan
Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan intensifikasi lahan pertanian, antara lain dengan mengunakan pupuk pestisida, yang merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga ekploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi menurun. Bagi mereka para peladang berpindah, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat, berarti menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses pemulihan lahan mengalami percepatan.
3.       Meningkatnya Demand Terhadap Sumber Daya Alam
Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan akan sumber daya. Untuk penduduk agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya ini terutama lahan dan air. Dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi, kebutuhan akan sumber daya lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan mentah untuk industri. Dengan makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu, terjadilah penyusutan sumber daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan pencemaran.
Berdasarkan pendapat yang kemukakan oleh Soemarwoto, maka tidaklah berlebihan bahwa dampak kepadatan penduduk terhadap kualitas lingkungan sangatlah besar. Indonesia sebagai sebuah negara yang jumlah penduduknya sangat besar juga sedang menghadapi problematika besar tentang masalah kualitas lingkungan. Masalah yang dihadapi ini akan semakin kompleks karena lajunya pertumbuhan penduduk tidak bisa ditekan dalam pengertian bahwa secara alamiah jumlah penduduk dari waktu ke waktu terus bertambah, disamping itu juga tingkat pencemaran (air dan udara), tekanan terhadap lahan pertanian, rendahnya kesadaran lingkungan, banyaknya pemilik HPH yang tidak bertanggungjawab, dan tidak konsistennya Pemerintah dalam menegakkan hukum akan semakin mempercepat penurunan mutu lingkungan secara makro. Hal ini terjadi menurut Abdullah (2002:20) karena adanya perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri.
Akibat yang lebih jauh atas permasalahan tersebut adalah problematika yang muncul tidak hanya sebatas pada satu sisi kependudukan saja, tetapi juga daya dukung lingkungan terhadap kelangsungan hidup secara seimbang. Akhirnya sampai pada satu titik terminologi akan terjadi ‘keasenjangan’. Keadaan ini sangat mungkin terjadi karena daya dukung lingkungan (supply) tidak lagi mampu menopang kebutuhan hidup manusia(demand). Sementara manusia dengan dengan jumlah yang terus meningkat dari waktu kewaktu membutuhkan ketersediaannya bahan kebutuhan yang disediakan oleh alam. Disisi lain, karena pemanfaatan sumber daya alam tidak mengindahkan eko-efisien, dan cenderung mengabaikan kelestariannya maka berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya alam. Perkembang selanjutnya akan terjadi ketimpangan antara kebutuhan yang harus disediakan alam, dengan kemampuan alam sendiri untuk menyediakan. Ketidakmampuan alam dalam menyediakan kebutuhan manusia maka pada gilirannya akan berakibat pada malapetaka. Melihat kondisi yang demikian maka satu hal yang harus mendapat perhatian adalah bagaimana mengupayakan jalinan hubungan harmonis antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan diharapkan daya dukung lingkungan tetap tersedia terutama dalam menopang laju pertumbuhan penduduk yang makin hari terus mengalami peningkatan.

Berpacu Mendapatkan Pangan, Green Revolution?
Kesulitan – kesulitan hidup yang dialami oleh Negara berkembang semakin bertambah parah dengan disertai tingkat pertumbuhan penduduk yang mencapai 3% di beberapa Negara. Akibatnya banyak Negara (sedang berkembang) melakukan segala upaya untuk mendapatkan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Apabila, misalnya penduduk bertambah 3% per tahun, seharusnya tingkat pendapatan pangan pun dicapai sebesar 3% untuk waktu yang lama
Sedangkan di Negara maju produksi pangan bias mengalami kenaikan per kapita, maka di Negara berkembang pertambahan produksi yang terjadi hampir seluruhnya terserap oleh kenaikan jumlah penduduk. Karenanya berbagai kebijakan dantindakan yang ditempuh oleh pemerintah-pemerintah di Negara berkembang hamper tidak kelihatan wujudnya akibat kendala pertumbuhan penduduk yang makin merajalela.
Ketika terjadi Green Revolution yaitu revolusi di bidang peningkatan pertanian yang dicanangkan sejak tahun 60-an, dunia merasa optimis bahwa penduduk di Negara berkembang akan terbebas dari kelaparan. Pencapaian produksi pangan akan berhasil mengungguli tingkat pertumbuhan penduduk.berbagai pemikiran dan peningkatan melalui teknologi pertanian yang serba mekanis dikerahan.
Melalui Green Revolution diproduksi pupuk organic, obat-obatan proteksi pertanian/tanaman, bibit unggul,

Menumbuhkan Sikap Good Governance Dan Mencegah Praktek Bad Governance Terhadap Lingkungan

Untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari kepunahan karena tidak cukupnya daya dukung lingkungan, maka perlu adanya suatu kebijakan untuk menyeimbangkan antara kuantitas penduduk dengan kualitas lingkungan, yaitu Pemerintah harus benar-benar serius memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan.
Berdasarkan pengamatan selama ini pemerintah cenderung menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin menunjukkan frekwensi meningkat. Seolah menganggap bahwa faktor lingkungan adalah merupakan beban pembangunan, sehingga tidak perlu mendapat perhatian. Toh sumber daya alam diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan, tetapi lupa bahwa disamping dimanfaatkan untuk seluas-luasnya bagi kesejahteraan manusia juga harus tetap menjaga kelestariannya. Sehingga bukan hanya berorientasi mengejar keuntungan saat ini, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kelangsungan untuk anak cucu kelak. Memberikan perlindungan terhadap pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”.
Praktek “bad governance” tersebut seyogyanya tidak harus terjadi, hal ini mengingat bagaimanapun juga, lingkungan bagi kehidupan manusia adalah segala-galanya. Tanpa adanya dukungan dari lingkungan yang cukup, maka jangan harap ada kehidupan dimuka bumi ini. Karena itu upaya penyelarasan antara pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh peningkatan pemenuhan kebutuhan dan meningkatnya ketergantungannya kepada sumber daya alam, dengan tetap memelihara kelestariannya adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah harus mempelopori semangat cinta lingkungan dalam bentuk penegakan hukum dan aturan sebaik-baiknya, perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan dampak lingkungan, maupun memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan.
Demikian juga dengan usaha penekanan laju pertumbuhan penduduk juga harus tetap dipertahankan, sehingga akan terjadi keseimbangan antara kuantitas kebutuhan dengan kualitas sumber daya alam. Tanpa kepeloporan pemerintah dalam menegakkan aturan pelestarian sumber daya alam, maka mustahil upaya menangani permasalahan kependudukan dan kerusakan lingkungan bisa terwujud. Pengalaman selama ini pemerintahan Orde Baru yang begitu besar memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada para perusak lingkungan, untuk selanjutnya jangan sampai terulang kembali. Namun demikian upaya meminimalkan munculnya ketidak seimbangan daya dukung lingkungan bukan sepebuhnya ditangan pemerintah, masyarakat luas umumnya dan para pengusaha yang bersinggungan dengan lingkungan khususnya harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga kemungkinan timbulnya “collapse” dapat dihindari.
Masalah lingkungan hidup dan kependudukan yang sedang dialami Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia menurut Arkanudin (2001:35), tidak hanya menyangkut masalah fisik semata-mata seperti geografis, jumlah penduduk dan lain-lain, tetapi juga masalah kultural dan masalah filosofi yang menentukan kelangsungan kehidupan manusia pada masa depan. Dengan demikian tahap pemecahannya tidak saja menyangkut masalah teknik praktis, tetapi juga melalui pendekatan etik yang bersumber kepada nilai-nilai kultural dan religius secara konseptual yang mampu memberikan perspektif transendent.
Dalam upaya mencari solusi pemecahannya dalam penanganan masalah lingkungan hidup dan kependudukan, harus dilakukan secara interdisiplinary atau multidisciplinary, yang akan melahirkan imaginasi, inovasi dan kreatifitas tinggi dalam menciptakan model-model, cara-cara dan kebijakan baru khususnya maupun didalam menentukan arah pembangunan secara makro pada umumnya. Selama ini orientasi pembangunan yang dikejar adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga kondisi demikian bukan saja mengacaukan efiesiensi dan produktifitas, tetapi juga mengacau peningkatan kualitas hidup manusia dengan segala dimensinya. Demikian juga dengan kebijakan dalam bidang alih teknologi, bukan saja mengarah kepada eksploitability, tetapi juga mengarah kepada apa yang bersifat peningkatan teknologi dengan menekankan konservasi, recycling dan renewability.
Langkah efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup dan kependudukan adalah mengkaitkannya dengan perspektif kultural dan religius. Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama yang terbingkai oleh berbagai macam kultur. Langkah ini akan dapat secara langsung membentuk arah filsafati, pandangan dan tingkah laku mereka, yaitu tidak hanya sebatas meletakkan kerangka instrumental etik dalam upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentinnya nilai instrinsik bagi alam atau lingkungan hidup sebagai hak asasi yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Artinya bahwa dalam dimensi etik lingkungan yang bersifat instrinsik, sikap kesadaran ekologikal selalu mengembangkan “self transendent perspektif” (Sudjana, 1998:87-110). Yang menuntu adanya pengujian efek dari kegiatan manusia terhadap lainnya, seperti terhadap makhluk hidup, lingkungan alamiah, generasi mendatang dan keseimbangan ekosistem lainnya.
Kesadaran etik dan self transcending memberikan suatu dasar moralitas dan perspektif bagi terciptanya suatu masyarakat yang lebih adil, damai, lebih partisippatoris dan bersifat sustainable. Hingga akhirnya menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan manusia dan lingkungan harus dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya karena nilai instrinsiknya.

Penutup
Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan sehingga yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya alam, dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro. Sehingga dalam tataran selanjutnya, ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya alam dapat menyebabkan kehancuran seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian dan kualitas lingkungan. Konsep good governance adalah alternatif yang tepat, karena dengan konsep ini coba dilakukan penyeimbangan antara kuantitas pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya, dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan. Hingga akhirnya diperoleh suatu keseimbangan yang ideal antara laju pertumbuhan penduduk dengan kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Oekan. S. 2002. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Ilmiah Dalam Menata Lingkungan Masa Depan, Upaya Meniti Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Alfi, Nurhadi. 1990. Islam dan Tradisi Jawa Tentang Lingkungan Hidup, Kependudukan, dan Kualitas Manusia, Dalam: Jurnal LPPM-UNS, Septembar.

Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau Kalimantan Barat,
Bandung: Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran

Brown, Lester R. 1992. Tantangan Masalah Lingkungan Hidup (Bagaimana Membangunan Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Lingkungan Hidup yang Sehat), Diterjemahkan oleh S. Maimoen,
Jakarta: Yayasan Obor.

Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia),
Jakarta: Bhrata Karya Aksara.

Jones, Gavin W. 1993. Population, Environment and Sustainable Development in
Indonesia, Dalam: Warta Demografi, Tahun XX Nomor 40, Desember.

Soemarwoto, Otto. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan ke 5,
Bandung: Penerbitan Djambatan

Soetaryono, Retno. 1998. Dalam Prakteknya Kebijakan Lingkungan Membebani Rakyat, Dalam:
Warta Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1.

Sudjana, Eggi. 1998. HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup (Perspektif Islam),
Bogor: Yayasan As-Syahidah.

Wijono, Nur Hadi. 1998. Interaksi Penduduk dan Lingkungan, Dalam Warta Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1..

Isu Kependudukan, Lingkungan Hidup, dan Sistem Pemerintahan


Isu Kependudukan, Lingkungan Hidup,
dan Sistem Pemerintahan
Dyah Ayu Putri Kusuma
-- Isu Lingkungan Dalam Pembangunan –
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro


 
Pendahuluan
Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian yang besar dihampir semua negara di dunia dalam dasawarsa 1970 an. Ini terjadi setelah diadakan Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972.
Terdapat kesan bahwa masalah lingkungan hidup adalah suatu hal yang baru. Namun sebenarnya, permasalahan itu telah ada sejak manusia ada di bumi. Oleh sebab itu faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan hidup adalah besarnya populasi manusia.
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman, dan lain kebutuhan serta limbah domestik juga bertambah dengan cepat. Pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup.
Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena kemajuan teknologi. Akan tetapi yang harus diingat bahwa teknologi bukan saja dapat merusak lingkungan, melainkan diperlukan juga untuk mengatasi masalah lingkungan hidup. Contoh: Mesin mobil yang tidak menggunakan bahan bakar fosil (bensin), tetapi menggunakan gas.
Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi, dan lain-lain; karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Ini dilakukan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam upaya mempertahankan jenis dan keturunannya.
Pemenuhan kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti sudah berkaitan dengan konsep ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Dengan demikian apabila membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait, sehingga permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan ekologi.

Penduduk dan Lingkungan
Ketidakberimbangan Supply Demand Dalam Dua Kutub Pertumbuhan
Masalah kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya maupun negara-negara lainnya di dunia umumnya. Brown (1992:265-280), menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup dan kependudukan yaitu masalah pencemaran lingkungan fisik, desertifikasi, deforestasi, overs eksploitasi terhadap sumber-sumber alam, serta berbagai fenomena degradasi ekologis semakin hari semakin menujukkan peningkatan yang signifikan. Keprihatinan ini tidak saja memberikan agenda penanganan masalah lingkungan yang bijak. Namun juga merupakan “warning” bagi kehidupan, bahwa kondisi lingkungan hidup sedang berada pada tahap memprihatinkan. Seandainya tidak dilakukan upaya penanggulangan secara serius, maka dalam jangka waktu tertentu kehidupan ini akan musnah. Hal ini terjadi menurut Soemarwoto (1991:1), karena lingkungan (alam) tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia.
Padatnya penduduk suatu daerah akan menyebabkan ruang gerak suatu daerah semakin terciut, dan hal ini disebabkan manusia merupakan bagian dari ekosistem, dimana manusia hidup dengan mengekploitasi lingkungannya. Pertumbuhan penduduk yang cepat meningkatkan permintaan (demand) terhadap sumber daya alam. Pada saat yang sama meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh membengkaknya jumlah penduduk yang pada akhirnya akan berpengaruh pada semakin berkurangnya produktifitas sumber daya alam (supply). Menurut Wijono (1998:5) kondisi sebagaimana digambarkan tersebut dapat mengandung sebuah konsekuensi, yaitu berubahnya salah satu atau beberapa komponen dalam ekosistem, mengakibatkan perubahan pada interaksi komponen-komponen itu, sehingga struktur organisasi dan sifat-sifat fungsional ekosistem akan berubah pula.
Dalam perspektif historis tentang kependudukan dan dampak lingkungan Derek Lewlyn dan Jones (dalam Alfi, 1990:22) melakukan penelitian di kota Sidney di Australia, berdasarkan hasil penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa sebenarnya keseimbangan ekologi itu tidak kekal. Kota Sidney yang dulunya sangat asri dengan tatanan lingkungan kota yang nyaman, tetapi mulai periode 80-an, semuanya telah berubah menjadi tidak nyaman lagi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menandakan bahwa perkembangan penduduk sedikit banyak akan mempengaruhi lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik. Dari kenyataan sejarah menurut Derek Lewlyn dan Jones, sebenarnya krisis lingkungan hidup yang terjadi pada masyarakat modern ini sebagai dari peledakan penduduk dan kemajuan teknologi modern, sudah dimulai ratusan tahun lalu. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa perkembangan penduduk dunia dilihat dari perspektif sejarah sebenarnya mempunyai tiga tahapan transisi yang biasa diistilahkan dengan konsep “Demographis Transition”. Tiga transisi itu adalah:
1.       Pra-transition;
2.       Transition;
3.       Post transition.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Derek Lewlyn dan Jones, bahwa dalam masyarakat pra-transition, tingkat kematian dan tingkat kelahiran sama tinggi. Masyarakat-masyarakat semacam ini masih ada dalam kehidupan masyarakat modern, seperti di Afrika, Amerika Latin dan sebagian Asia. Masyarakat transition, rata-rata tingkat kematian mulai menurun, terutama tingkat kematian bayi dan anak-anak. Akibat dari keadaan ini maka tingkat kelahiran meningkat; lebih banyak anak-anak hidup mencapai usia produktif. Pada tingkat akhir masa transition ini tingkat kelahiran juga menurun sebagai akibat dari pelaksanaan “birth control”. Pada umumnya sebagian negara berkembang berada pada tingkat transition. Sementara itu pada masyarakat post-transition rata-rata tingkat kelahiran dan kematian rendah. Hal ini disebabkan jumlah bayi dan anak-anak sampai pada tingkat minimum sekali. Tahapan transisi dalam pertumbuhan penduduk ini membawa dampak kepada keseimbangan lingkungan.Artinya bahwa semakin cepat pertumbuhan penduduk, maka akan membawa akibat kepada tekanan yang kuat terhadap sumber daya alam. Seperti meningkatnya kebutuhan pangan, air bersih, pemukiman dan sebagainya. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara persediaan sumber daya alam dengan kebutuhan manusia.
Pertambahan penduduk yang cepat, makin lama makin meningkat hingga akhirnya memadati muka bumi. Hal ini membawa akibat serius terhadap rentetan masalah besar yang membentur keseimbangan sumber daya alam. Karena bagaimanapun juga setiap menusia tidak lepas dari bermacam-macam kebutuhan mulai dari yang pokok hingga sampai pada kebutuhan pelengkap. Sedangkan semua kebutuhan yang diperlukan oleh manusia sangat banyak dan tidak terbatas, sementara itu kebutuhan yang diperlukan baru akan terpenuhi manakala siklus dan cadangan-cadangan sumber daya alam masih mampu dan mencukupi. Tetapi akan lain jadinya jika angka pertumbuhan penduduk kian melewati batas siklus ataupun jumlah cadangan sumber-sumber kebutuhan. Andaikata kondisi perkembangan demikian tidak diupayakan penanganan secara serius maka pada saatnya akan terjadi suatu masa krisis. Lebih parah lagi sebagaimana dikemukakan diatas adalah terjadinya bencana yang dapat memusnahkan kehidupan manusia.
Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat dapat berdampak kepada meningkatnya kepadatan penduduk, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan secara menyeluruh. Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan penduduk sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian lingkungan adalah sebagai berikut:
1.       Meningkatnya Jumlah Timbulan Limbah
Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut dengan limbah domestik. Dengan naiknya kepadatan penduduk berarti jumlah orang persatuan luas bertambah. Karena itu jumlah produksi limbah persatuan luas juga bertambah. Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terjadi konsentrasi produksi limbah. Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang melahirkan industri dan sistem transport modern. Industri dan transport menghasilkan berturut-turut limbah industri dan limbah transport.
2.       Meningkatnya Kebutuhan pangan
Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan intensifikasi lahan pertanian, antara lain dengan mengunakan pupuk pestisida, yang merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga ekploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi menurun. Bagi mereka para peladang berpindah, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat, berarti menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses pemulihan lahan mengalami percepatan.
3.       Meningkatnya Demand Terhadap Sumber Daya Alam
Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan akan sumber daya. Untuk penduduk agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya ini terutama lahan dan air. Dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi, kebutuhan akan sumber daya lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan mentah untuk industri. Dengan makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu, terjadilah penyusutan sumber daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan pencemaran.
Berdasarkan pendapat yang kemukakan oleh Soemarwoto, maka tidaklah berlebihan bahwa dampak kepadatan penduduk terhadap kualitas lingkungan sangatlah besar. Indonesia sebagai sebuah negara yang jumlah penduduknya sangat besar juga sedang menghadapi problematika besar tentang masalah kualitas lingkungan. Masalah yang dihadapi ini akan semakin kompleks karena lajunya pertumbuhan penduduk tidak bisa ditekan dalam pengertian bahwa secara alamiah jumlah penduduk dari waktu ke waktu terus bertambah, disamping itu juga tingkat pencemaran (air dan udara), tekanan terhadap lahan pertanian, rendahnya kesadaran lingkungan, banyaknya pemilik HPH yang tidak bertanggungjawab, dan tidak konsistennya Pemerintah dalam menegakkan hukum akan semakin mempercepat penurunan mutu lingkungan secara makro. Hal ini terjadi menurut Abdullah (2002:20) karena adanya perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri.
Akibat yang lebih jauh atas permasalahan tersebut adalah problematika yang muncul tidak hanya sebatas pada satu sisi kependudukan saja, tetapi juga daya dukung lingkungan terhadap kelangsungan hidup secara seimbang. Akhirnya sampai pada satu titik terminologi akan terjadi ‘keasenjangan’. Keadaan ini sangat mungkin terjadi karena daya dukung lingkungan (supply) tidak lagi mampu menopang kebutuhan hidup manusia(demand). Sementara manusia dengan dengan jumlah yang terus meningkat dari waktu kewaktu membutuhkan ketersediaannya bahan kebutuhan yang disediakan oleh alam. Disisi lain, karena pemanfaatan sumber daya alam tidak mengindahkan eko-efisien, dan cenderung mengabaikan kelestariannya maka berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya alam. Perkembang selanjutnya akan terjadi ketimpangan antara kebutuhan yang harus disediakan alam, dengan kemampuan alam sendiri untuk menyediakan. Ketidakmampuan alam dalam menyediakan kebutuhan manusia maka pada gilirannya akan berakibat pada malapetaka. Melihat kondisi yang demikian maka satu hal yang harus mendapat perhatian adalah bagaimana mengupayakan jalinan hubungan harmonis antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan diharapkan daya dukung lingkungan tetap tersedia terutama dalam menopang laju pertumbuhan penduduk yang makin hari terus mengalami peningkatan.

Berpacu Mendapatkan Pangan, Green Revolution?
Kesulitan – kesulitan hidup yang dialami oleh Negara berkembang semakin bertambah parah dengan disertai tingkat pertumbuhan penduduk yang mencapai 3% di beberapa Negara. Akibatnya banyak Negara (sedang berkembang) melakukan segala upaya untuk mendapatkan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Apabila, misalnya penduduk bertambah 3% per tahun, seharusnya tingkat pendapatan pangan pun dicapai sebesar 3% untuk waktu yang lama
Sedangkan di Negara maju produksi pangan bias mengalami kenaikan per kapita, maka di Negara berkembang pertambahan produksi yang terjadi hampir seluruhnya terserap oleh kenaikan jumlah penduduk. Karenanya berbagai kebijakan dantindakan yang ditempuh oleh pemerintah-pemerintah di Negara berkembang hamper tidak kelihatan wujudnya akibat kendala pertumbuhan penduduk yang makin merajalela.
Ketika terjadi Green Revolution yaitu revolusi di bidang peningkatan pertanian yang dicanangkan sejak tahun 60-an, dunia merasa optimis bahwa penduduk di Negara berkembang akan terbebas dari kelaparan. Pencapaian produksi pangan akan berhasil mengungguli tingkat pertumbuhan penduduk.berbagai pemikiran dan peningkatan melalui teknologi pertanian yang serba mekanis dikerahan.
Melalui Green Revolution diproduksi pupuk organic, obat-obatan proteksi pertanian/tanaman, bibit unggul, selain itu juga munculnya teknologi irigasi dan kredit bagi petani yang sepintas seperti menunjukan keberhasilan peningkatan pangan dari sisi pertanian. Namun demikian, hal tersebut bertentangan dengang kenyataan bahwa tingkat kelaparan dan kemiskinan semakin meningkat per tahunnya. Adapun beberapa factor penyabab kegagaln pemicu pertumbuhan pangan di Negara berkembang antara lain:
1.       Tingginya kenaikan jumlah penduduk
2.       Factor sumber daya tanah, air, energy dan pupuk yang semakin langka, dll.

Berbagai Alternatif Solusi
Solusi Dalam Perspektif Sistem Pemerintahan: Menumbuhkan Sikap Good Governance Dan Mencegah Praktek Bad Governance Terhadap Lingkungan
Untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari kepunahan karena tidak cukupnya daya dukung lingkungan, maka perlu adanya suatu kebijakan untuk menyeimbangkan antara kuantitas penduduk dengan kualitas lingkungan, yaitu Pemerintah harus benar-benar serius memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan.
Berdasarkan pengamatan selama ini pemerintah cenderung menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin menunjukkan frekwensi meningkat. Seolah menganggap bahwa faktor lingkungan adalah merupakan beban pembangunan, sehingga tidak perlu mendapat perhatian. Toh sumber daya alam diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan, tetapi lupa bahwa disamping dimanfaatkan untuk seluas-luasnya bagi kesejahteraan manusia juga harus tetap menjaga kelestariannya. Sehingga bukan hanya berorientasi mengejar keuntungan saat ini, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kelangsungan untuk anak cucu kelak. Memberikan perlindungan terhadap pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”.
Praktek “bad governance” tersebut seyogyanya tidak harus terjadi, hal ini mengingat bagaimanapun juga, lingkungan bagi kehidupan manusia adalah segala-galanya. Tanpa adanya dukungan dari lingkungan yang cukup, maka jangan harap ada kehidupan dimuka bumi ini. Karena itu upaya penyelarasan antara pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh peningkatan pemenuhan kebutuhan dan meningkatnya ketergantungannya kepada sumber daya alam, dengan tetap memelihara kelestariannya adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah harus mempelopori semangat cinta lingkungan dalam bentuk penegakan hukum dan aturan sebaik-baiknya, perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan dampak lingkungan, maupun memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan.
Demikian juga dengan usaha penekanan laju pertumbuhan penduduk juga harus tetap dipertahankan, sehingga akan terjadi keseimbangan antara kuantitas kebutuhan dengan kualitas sumber daya alam. Tanpa kepeloporan pemerintah dalam menegakkan aturan pelestarian sumber daya alam, maka mustahil upaya menangani permasalahan kependudukan dan kerusakan lingkungan bisa terwujud. Pengalaman selama ini pemerintahan Orde Baru yang begitu besar memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada para perusak lingkungan, untuk selanjutnya jangan sampai terulang kembali. Namun demikian upaya meminimalkan munculnya ketidak seimbangan daya dukung lingkungan bukan sepebuhnya ditangan pemerintah, masyarakat luas umumnya dan para pengusaha yang bersinggungan dengan lingkungan khususnya harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga kemungkinan timbulnya “collapse” dapat dihindari.
Masalah lingkungan hidup dan kependudukan yang sedang dialami Negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia menurut Arkanudin (2001:35), tidak hanya menyangkut masalah fisik semata-mata seperti geografis, jumlah penduduk dan lain-lain, tetapi juga masalah kultural dan masalah filosofi yang menentukan kelangsungan kehidupan manusia pada masa depan. Dengan demikian tahap pemecahannya tidak saja menyangkut masalah teknik praktis, tetapi juga melalui pendekatan etik yang bersumber kepada nilai-nilai kultural dan religius secara konseptual yang mampu memberikan perspektif transendent.
Dalam upaya mencari solusi pemecahannya dalam penanganan masalah lingkungan hidup dan kependudukan, harus dilakukan secara interdisiplinary atau multidisciplinary, yang akan melahirkan imaginasi, inovasi dan kreatifitas tinggi dalam menciptakan model-model, cara-cara dan kebijakan baru khususnya maupun didalam menentukan arah pembangunan secara makro pada umumnya. Selama ini orientasi pembangunan yang dikejar adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga kondisi demikian bukan saja mengacaukan efiesiensi dan produktifitas, tetapi juga mengacau peningkatan kualitas hidup manusia dengan segala dimensinya. Demikian juga dengan kebijakan dalam bidang alih teknologi, bukan saja mengarah kepada eksploitability, tetapi juga mengarah kepada apa yang bersifat peningkatan teknologi dengan menekankan konservasi, recycling dan renewability.
Langkah efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup dan kependudukan adalah mengkaitkannya dengan perspektif kultural dan religius. Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama yang terbingkai oleh berbagai macam kultur. Langkah ini akan dapat secara langsung membentuk arah filsafati, pandangan dan tingkah laku mereka, yaitu tidak hanya sebatas meletakkan kerangka instrumental etik dalam upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentinnya nilai instrinsik bagi alam atau lingkungan hidup sebagai hak asasi yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Artinya bahwa dalam dimensi etik lingkungan yang bersifat instrinsik, sikap kesadaran ekologikal selalu mengembangkan “self transendent perspektif” (Sudjana, 1998:87-110). Yang menuntu adanya pengujian efek dari kegiatan manusia terhadap lainnya, seperti terhadap makhluk hidup, lingkungan alamiah, generasi mendatang dan keseimbangan ekosistem lainnya.
Kesadaran etik dan self transcending memberikan suatu dasar moralitas dan perspektif bagi terciptanya suatu masyarakat yang lebih adil, damai, lebih partisippatoris dan bersifat sustainable. Hingga akhirnya menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan manusia dan lingkungan harus dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya karena nilai instrinsiknya.

Solusi Dalam Perspektif Sistem Pendidikan: PKLH dan Kontribusinya Dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peningkatan angka pertumbuhan penduduk berdampak pada peningkatan kemerosotan kualitas lingkungan. Akibat ulah manusia, penurunan kualitas lingkungan berlangsung terus menerus. Lalu, seiring dengan perkembangan teknologi yang ditandai oleh penggunaan beragam produk teknologi menyebabkan akselerasi kerusakan lingkungan terutama di beberapa negara berkembang seperti Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan kependudukan dan lingkungan, perlu pengenalan program PKLH (Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup) baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap peserta didik di jalur pendidikan formal, jalur pendidikan sekolah. PKLH sendiri diartikan sebagai suatu program kependudukan untuk membina anak didik memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dengan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pada masyarakat umum, Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup dapat diperkenalkan melalui jalur pendidikan informal seperti melalui kegiatan keagamaan, perkumpulan profesi, PKK, karang taruna, atau penjelasan dan informasi melalui media cetak dan elektronik.
Dengan adanya pengenalan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup tersebut, diharapkan manusia bisa lebih bijak didalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang ada. Sekaligus dapat menanamkan pada setiap individu khususnya peserta didik dalam Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab terhadap berbagai aspek kehidupan manusia khususnya hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Terkhusus pada realitas kehidupan yang mengharuskan pemenuhan kehidupan manusia akan sumber daya alam, alternatif utama sekarang ini yang bisa digunakan untuk menjawab permasalahan itu adalah Pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip-prinsip menuju masyarakat yang berkelanjutan yaitu merubah paradigma masyarakat dari mentalitas frontier menjadi mentalitas masyarakat yang berkesinambungan dan berusaha :
·         Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan
·         Memperbaiki kualitas hidup manusia
·         Melestarikan daya hidup dan keragaman bumi
·         Menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak terbarukan
·         Berusaha tidak melampaui batas kapasitas daya dukung bumi
·         Mengubah sikap dan gaya hidup orang

Penutup
Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan sehingga yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya alam, dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro. Sehingga dalam tataran selanjutnya, ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya alam dapat menyebabkan kehancuran seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian dan kualitas lingkungan. Konsep good governance adalah alternatif yang tepat, karena dengan konsep ini coba dilakukan penyeimbangan antara kuantitas pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya, dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan. Hingga akhirnya diperoleh suatu keseimbangan yang ideal antara laju pertumbuhan penduduk dengan kelestarian lingkungan. Selain itu PKLH dapat menjadi solusi bagi peningkatan penegtahuan masyarakat terhadap permasalahan kependudukan dan kaitannya dengan lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

Abdullah, Oekan. S. 2002. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Ilmiah Dalam Menata Lingkungan Masa Depan, Upaya Meniti Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
David M. Her. 1985. Masalah Kependudukan di Negara Berkembang. Jakarta: Bina Aksara
Resosudarmo , Sudjiran, Kartawinata, Kuswata, Soegiarto & Apriliani. 1987. Pengantar Ekologi. Jakarta: Remaja Karya
Soemarwoto, Otto. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan ke 5, Bandung: Penerbitan Djambatan
Wijono, Nur Hadi. 1998. Interaksi Penduduk dan Lingkungan, Dalam Warta Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1..